Beberapa waktu yang lalu, saat liburan semester di Solo, aku mendapat ‘pelajaran’ yang sangat berharga. Tepatnya saat sholat Jum’at. Materi khutbah oleh sang khotib benar-benar menyalakan api semangatku. Bagaimanakah khutbah itu?
Flashback dulu dari awal sebelum aku berangkat ke masjid. Suasana hatiku sedang gundah saat itu, berbagai masalah yang tidak perlu disebutkan benar-benar membuatku tersiksa. So, untuk sholat Jum’at kali ini aku datang cukup awal, sekitar 25 menit sebelum waktu adzan tiba. Di masjid Baitul Qorib, masjid dekat rumah, tentu saja masih sepi. Langsung aku sholat tahiyatul masjid, lalu dzikir dan melantunkan kembali hafalan Juz Ammaku. Sambil diselingi doa duniawi (semoga IP bagus sampai semoga AC Milan menang.. halah) dan sesekali liat kaligrafi di masjid, QS At-Taubah 108. Sejenak kurenungkan artinya, “…Sungguh,masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” Ya Allah, semoga aku termasuk golongan yang benar-benar ingin membersihkan diri. Amiin.
Waktu sudah menunjukkan saat adzan, khotib naik mimbar dan mengucapkan salam. Kemudian adzan berkumandang. Kuhayati indahnya kumandang lirik-lirik surgawi itu, sudah lama aku tidak adzan. Padahal secara tak langsung, menjadi muadzin itu membuatku banyak dinaungi keberuntungan, selain karena kebiasaan sholat lail, puasa senin kamis, dan tentunya nonton sepakbola (upzz..).
Adzan selesai, khotib mulai membuka khutbahnya. Khotib satu ini salah satu khotib favoritku, yakni Bapak Dr.Syafi’i, dosen UNS yang merupakan alumni ITB (kakak kelasku berarti..yuhui). Semua khutbahnya inspiring, dan khutbah Jum’at kali ini juga kutentukan inspirasi dari beliau.
Khutbah selama sekitar 20 menit kudengarkan dengan seksama. Mendengarkan dan memahaminya membuat hatiku menangis. Inti dari khutbah itu adalah, jika ada generasi yang menyimpang, maka Allah akan gantikannya dengan orang-orang yang lebih baik, yang taat dan taqwa pada-Nya. Astaghfirullah. Kegundahan hatiku pun meningkat. Jangan-jangan aku termasuk generasi yang diganti. Ya, diganti. Di titik ini aku hampir menangis. Tapi di sisi lain, inspirasi muncul. Mulai detik itu aku harus jadi lebih baik. Eh bukan, bukan sekedar itu. Aku harus jauh lebih baik. Aku harus jadi salah satu orang yang dipilih Allah untuk menggantikan, bukan digantikan. Bagaimana nasibku di akhirat, jika aku termasuk ‘orang-orang yang tergantikan’.
Singkat cerita, khutbah berakhir dan waktunya untuk sholat Jum’at. Lantunan ayat suci Al-Qur’an dari imam terasa lebih merasuk di dalam hatiku. Subhanallah. Sampai sholat rowatib ba’diyahku pun terasa lebih khusuk dari biasanya. Selesai sholat aku berdzikir. Astaghfirullah. Ampunilah hambamu ini ya Allah.
Dan mulai saat itu, aku berkata pada diriku sendiri untuk jadi jauh lebih baik. Dan aku bukan orang yang diganti. Insya Allah. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu Akbar!