Dalam suasana Piala Dunia dan memprediksi bagaimana hasilnya, tak afdol kalau tidak membahas negara paling sukses di ajang ini yang identik dengan jogo bonito alias permainan indahnya, tak lain tak bukan, Brazil. Di era sepakbola modern, Brazil tak pernah lepas dari status unggulan utama. Pun untuk Piala Dunia tahun ini, sang pentachampion (lima kali juara) bersama Spanyol difavoritkan bertemu di partai akbar Final Piala Dunia 2010.
Brazil dari beberapa aspek memiliki kemiripan dengan tanah air Indonesia. Dari letak geografis, sama-sama berada di daerah khatulistiwa. Karena mendapat limpahan sinar matahari yang kurang lebih sama, warna kulit warga Brazil sama juga dengan Indonesia. Selain itu, dua negara berkembang ini memiliki potensi alam luar biasa dalam bentuk kesuburan tanah. Brazil terkenal sebagai eksportir utama produk-produk pertanian, sedangkan Indonesia seperti kata Koes Plus, ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman’ cukuplah kalimat itu menggambarkan betapa suburnya Nusantara.
Kembali ke aspek olahraga, kalau Brazil dominan di sepakbola, Indonesia punya keunggulan di badminton meski sekarang dominasi telah beralih ke China. Paling tidak, Indonesia sampai saat ini tercatat paling superior di Thomas Cup, Piala Dunia-nya badminton. Hmm.. bisakah Thomas Cup disebut Piala Dunia-nya badminton? Asumsiku sih bisa dianalogikan. Kalo Uber Cup ya setara Piala Dunia Wanita, World Badminton Championship seperti Piala Konfederasi dan All England itu Euro.
Nah pertanyaannya, dan ini yang jadi pokok tulisan ini, kenapa Indonesia tidak bisa konsisten seperti Brazil? Kalau Brazil disebut punya banyak bakat alam luar biasa di sepakbola, bukankah negara kita juga punya banyak di badminton, tapi kenapa progres regenerasi berjalan sangat lambat? Menarik bukan? Yuk, dibahas.
Brazil, seperti hampir semua negara di dunia, menjadikan sepakbola sebagai olahraga terfavorit. Di samping tebing, di pinggir pantai, di jalan aspal, di lapangan kampung anak-anak bermain sepakbola merupakan pemandangan wajar. Dari situlah, warga dari lingkungan kumuh bisa jadi superstar, sebagai contoh pemain sepakbola terbesar Pele, Il Phenomenon Ronaldo, dan si murah senyum Ronaldinho. J
Mereka memainkan sepakbola dengan peralatan seadanya. Toh bakat besar disertai usaha keras membuat mereka mampu ‘menggenggam dunia’ lewat olahraga ini. Bahkan, bakat besar dalam diri Deco yang berimigrasi ke Portugal, atau Eduardo da Silva (Kroasia), Marcos Senna (Spanyol), Alex dan Tulio Tanaka (Jepang) pun tak mengurangi kehebatan mereka. Brazil akan selalu tampil bagus dengan pemain tak terkenal macam Elano dan Ramires sekalipun.
Nah, dalam Piala Dunia kali ini, sang legenda hidup Pele mengeluarkan pernyataan (cukup kontroversial), bahwa tak seperti Piala Dunia sebelumnya yang penuh superstar, hanya ada satu superstar yakni Kaka di Piala Dunia kali ini. Anda setuju?
Kaka, yang punya julukan ‘Pele Putih’ memang pemilik nomor 10 yang identik dengan pemain penting atau playmaker utama. Uniknya, meski Pele menyebut Kaka punya bakat besar yang tidak mesti muncul 50 tahun sekali, Kaka pada awal karirnya disebut pelatihnya tak punya bakat! Terlahir dari keluarga berada, skill Kaka tidak sebanding pemilik bakat alami pemain-pemain yang muncul dari pinggir jalan, pinggir pantai maupun kawasan kumuh. Stamina Kaka juga jadi sorotan. Toh, itu tak menyurutkan niatnya jadi pesepakbola besar. Berlatih keras dengan porsi jauh lebih banyak dibanding rekan-rekannya, stamina dan skill Kaka pun meningkat pesat. Seperti kita tahu sekarang, ia jadi salah satu pesepakbola paling oke. Pernyataan Pele tadi jadi bukti sahih. Kaka juga sudah dapat seluruh gelar yang mungkin untuk seorang pemain (juara liga, piala domestik, Liga Champions, Super Eropa, Piala Dunia Antarklub untuk level klub, Copa America, Piala Dunia, Piala Konfederasi untuk level timnas, serta Pemain Terbaik Dunia versi wartawan/Balon d’Or, versi kapten dan pelatih timnas/FIFA World Player of The Year, versi pemain profesional/PFA untuk level individu). Dan ia masih berhasrat menggandakannya! Apa yang bisa diambil? Antusiasme dan kerja keras. Selain dikaruniai pemain dengan bakat besar, Brazil juga punya pemain yang antusiasme tinggi dan mau bekerja keras demi meningkatkan kemampuan diri dan mengharumkan nama bangsa. Mereka tidak terpengaruh nama besar masa lalu, tapi memang mau berusaha untuk diri sendiri dan bangsa.
Meski punya banyak pemain dengan skill di atas rata-rata, Brazil tidak tak tersentuh kegagalan. Faktor terbesar kegagalan itu adalah overconfidence alias kepedean dengan kehebatan mereka. Kasus PD1998 dan PD2006 di mana mereka seakan di level yang jauh di atas, eh malah gagal juara. Ini yang tidak perlu dicontoh. Tapi saat Brazil dapat menjaga sikap dan kesolidannya, Piala Dunia pun tergenggam seperti pada PD1994 dan PD2002. Mungkin itu juga amat diperhatikan sang pelatih Dunga (yang juga kapten Brazil 1994), sehingga tidak memasukkan nama Ronaldinho yang bisa merusak sikap dan kesolidan tim dengan kebiasaannya mengajak berpesta.
Dari yang kata-kata yang di-bold, saya berharap Indonesia tercinta dapat menirunya. Dimulai dari badminton. Yah, karena olahraga itu yang punya kemungkinan terbesar untuk ‘menggenggam dunia’. Kalau sepakbola tanah air mah saya sependapat dengan mayoritas pecinta bola Indonesia, hanya akan mengalami kemunduran atau (maksimal) jalan di tempat selama PSSI masih dipegang Nurdin Halid. Maybe selanjutnya bisa berjaya juga. Tentu itu yang diharapkan.
Kejayaan olahraga Indonesia bisa muncul jika regenerasi berjalan dengan baik. Agar regenerasi baik harus ada rasa percaya yang tinggi kepada pemain muda, tidak perlu ragu dimainkan di turnamen akbar seperti Piala Thomas atau Uber untuk menimba pengalaman dan kematangan bertanding. So, nantinya Indonesia bisa tampil bagus siapapun yang maen. Sebaliknya, pemain muda harus punya antusiasme dan kerja keras yang tinggi. Last but not least, jaga sikap dan kesolidan. Mental pemain Indonesia sebenarnya sudah bagus hanya perlu lebih ditingkatkan.
Pertanyaannya, kapankah Indonesia tertular nilai-nilai yang dipegang Brazil dalam menggenggam kejayaannya?
Bukan untuk dijawab waktunya. Lebih baik bangsa Indonesia melakukan yang terbaik untuk diri kita dulu. Yang atlet memperbaiki mentalitas dan abilitas keatletannya. Yang bukan atlet memperbaiki diri sesuai bidangnya. Semangat, Indonesia!!