Motivasi Telekomunikasi

Sekitar dua tahun yang lalu, saat saya memilih jurusan pilihan di SNMPTN 2008, sejujurnya bayangan apa yang akan saya jalani dalam kuliah belum begitu detail. Info jurusan beredar di sana-sini, dengan plus minus masing-masing, semakin membuat bingung. Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah saya ingin masuk teknik. Titik.

Kalau pengen masuk teknik, terus mau kuliah di mana? Yah, walaupun awalnya sempat agak ragu, tapi akhirnya mantap: kalau bisa ke universitas dan fakultas terbaik, mengapa tidak? Peduli amat dengan passing grade yang diprediksi salah satu yang tertinggi, saya pun memilih STEI ITB. Bukan kecerdasan yang membuat saya PD membuat keputusan itu. Dua hal, pertama fakultas teknik (secara subyektif) merupakan jurusan cowok sejati dan bisa bersaing dengan cowok-cowok yang paling gokil di Indonesia karena mencoba peruntungannya ke STEI (maaf saat itu potensi persaingan dengan kaum hawa saya abaikan.. bukan apa2, karena bersaing dengan cowok cerdas itu mengerikan!). Kedua, mental saya sedang tinggi-tingginya karena euforia Euro 2008 (kacau..dasar gibol..).

Pada akhirnya, (sekali lagi) bukan kecerdasan melainkan keberuntunganlah yang melontarkan saya ke STEI ITB. Waktu pun terus berjalan. Tapi kecuali sang waktu itu sendiri, segalanya berjalan tidak lancar. Tahun pertama yang kurang greget. Dengan segala koreksinya, tahun kedua berlalu. Dan hasilnya justru semakin kacau. Astaghfirullahal’adziim..

Hal pokok yang sangat sangat fatal adalah saya kurang, eh salah bukan ‘kurang’ melainkan SANGAT TIDAK KONSISTEN. Berasa hanya sangat sedikit hal yang kudapat selama dua tahun ini. Merenung dan merenung. Flashback, Checking registry, usut punya usut, akhirnya benang merah itu mengarah pada satu hal. Sama dengan yang terdapat dalam kalimat awal tulisan ini. Bayangan kuliah tidak detail, semu, tidak jelas. Padahal gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.

Karena itu, saya menarik lagi apa yang menjadi sumber ketertarikan utama untuk kuliah. Lalu melangkah lebih spesifik, mengapa dulu saya memilih teknik, dan semakin jauh lagi kenapa sekarang saya masuk jurusan telekomunikasi. Kesuksesan Om Dar dan Om Arief memang alasan penting, tapi mengingat itu adalah faktor eksternal seharusnya hanya menjadi alasan minor dalam menentukan pilihan hidup. Alasan mayor tetaplah dari diri sendiri.

Sejenak saya terdiam. Kuurai lagi sisi menarik dan sisi ketertarikanku akan telekomunikasi. Karena ketertarikan adalah stimulus utama untuk memulai langkah, sedangkan memulai adalah hal terpenting untuk menggapai langkah-langkah besar selanjutnya. Begitu terus jalannya apa yang disebut orang ‘motivasi’.

===

Sedari kecil saya benci dengan namanya perkelahian. Sebisa mungkin saya menghindar untuk berkelahi. Dan agar terlihat gentle, sebagai protector pencegah insting berkelahi, adalah membuat orang lain segan. Cara yang saya yakini adalah dengan memiliki ilmu sebanyak-banyaknya. Waktu berjalan dan ilmu saya masih terlampau sedikit. Sedangkan di luar perkelahian terjadi di mana-mana. Bahkan skala besar pun kerap terjadi, orang-orang menyebutnya ‘perang’.

Dalang dari segala peperangan dunia, yang tentu saja sangat benci, menurut saya (mungkin juga obyektif) adalah AS. Oh, kalau bisa lebih spesifik: Yahudi dalam diri orang AS dan Israel yang keji. AS, tentu saja hanya sebagian yang tak punya perikemanusiaan. Bahkan sejujurnya AS adalah negeri yang paling ingin kukunjungi saat pemikiranku masih SD dulu, mengingat hebatnya iptek mereka. Balik lagi ke bahasan, kekejian Yahudi sudah tidak perlu diragukan lagi. Baru-baru ini, tragedi immoral di Gaza terjadi lagi. Dan satu yang membuat saya semakin tidak suka, mereka menguasai media. Berita kekejian itu dengan mudahnya diputarbalikkan karena dominasi media yang begitu besar.

Sekarang, media modern ada dalam wujud internet. Dan tidak salah lagi, internet merupakan produk telekomunikasi. Bisa ditarik sedikit hubungan, kalau ingin mengusai media, kuasai juga ilmu telekomunikasi. Sejenak memori masa kecil saya membayang, saat Ibu menemaniku menonton TV yang beritanya kondisi mengenaskan umat muslim Palestina. Dan Ibu ngendika, “Makanya kamu sekolah yang pintar, le.. biar tidak diinjak-injak, biar bisa membela Islam..”. Oh, Ibunda. Seandainya diriku ini tak terlampau sering lalai, jika kata-kata itu terpatri terus dalam setiap detik langkah, pasti ledakan dahsyat motivasi telah membawaku sangat jauh lebih baik dari sekarang. Maafkan putramu yang banyak mengecewakan, Ibunda…