Tiada yang Tak Mungkin (3): Yohannes Surya

Bagian ketiga Kick Andy bernarasumber PROF YOHANNES SURYA,Ph.D. Ini nih foto beliau kalau belum tahu

Pimpinan TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) yang terkenal dengan filosofi Mestakung (Semesta Mendukung) ini ternyata juga tak lepas dari beratnya hidup untuk sekolah tinggi. Beliau yang kini juga rektor Universitas Multimedia Nusantara sejak kecil sudah harus terbiasa bangun pukul 3 pagi untuk membantu sang ibu membuat kue dagangan. Ketertarikannya yang besar pada fisika, mata pelajaran momok bagi kebanyakan anak sekolah, justru menjadi kunci keberhasilannya kemudian. Memilih jurusan paling sepi peminat, apalagi kalau bukan fisika, beliau melenggang masuk UI via PMDK. Masa kuliah kerja keras cari uang terbantu dengan memberi les privat fisika dan tentunya beasiswa.

Saya sendiri tidak melihat bagian ini secara full. Yang jelas beliau mengatakan seperti ini, “Pada dasarnya tidak ada orang yang bodoh”, lalu ia melanjutkan, “yang ada adalah tidak punya kesempatan mendapat pengajaran yang terbaik”. Waduh, saya tersengat saat itu juga. kalimat ‘tidak ada orang bodoh’, dan kenyataan bahwa ‘aku sedang dapat kesempatan mendapat pengajaran terbaik’  ditambah wejangan sebelumnya dari pak Rhenald dan pak Azyumardi membuatku beranjak. Arti lain kalimat narasumber hebat itu: BELAJARLAH SEKARANG!!!

Tiada yang Tak Mungkin (2): Azyumardi Azra

Bagian kedua dari Kick Andy kemarin. Narasumbernya tak lain tak bukan ini:

Kenal kan? Yuph, seperti tertulis di judul, PROF AZYUMARDI AZRA, Ph.D. Apa yang membuat beliau istimewa? Hmm.. langsung cek websitenya aja deh, atau kalau mau berwiki-wiki ria di sini (tapi open link in new tab aja ya, jangan tinggalin halaman blog ini.. hehe..).

Oke, sekarang ke perjalanan beliau yang kudengar dari Kick Andy. Beliau berasal dari LA (jelas bukan Los Angeles lah, tapi Lubuk Alung). Berayahkan seorang tukang kayu dan batu, dengan ibu seorang guru agama. Ia dekat dengan segala keterbatasan ekonomi. Makanan masa kecil, kurang lebih sama dengan pak Rhenald.

Azyumardi kecil sudah bisa membaca Koran pada usia 4,5 tahun. Kemampuan membaca diajarkan dengan mengenal nama-nama bus. Kreatif, begitu bung Andy merespon, sambil menyarankan ke ortu untuk menaruh anaknya di pinggir jalan atau terminal saja dan tentu itu hanya gurauan yang disambut tawa renyah penonton. Saya berpikir, wah sama dengan saya dulu donk. Duduk santai di seberang pasar Kleco Solo sambil mengenali bus ‘Safari’, ‘Duta Kartika’.. memang meningkatkan kemampuan baca sih.. Ibu bapakku kreatif berarti.. bahkan saya sudah bisa membaca di usia 2,5 tahun (bukan berarti sombong, melainkan berarti orang tua saya superkreatif dan luar biasa.. hehe..)

Kuliah, nilai pak Azyumardi, juga pas-pasan seperti pak Rhenald. Uniknya, pernah terkena kasus untuk pelajaran yang sama, bahasa Indonesia! Beliau pun mengulang dan lulus. Untuk kuliah, tahun pertama karena baru di Jakarta, masih dikirimi orang tua, hanya 5ribu per bulan. Lalu tahun berikutnya sudah dari uang beasiswa. Banyak perjuangan menghidupi diri di Jakarta sampai meraih gelar S1.

Serupa dengan pak Rhenald juga, beliau rajin berburu beasiswa S2 ke luar negeri, kerap gagal tapi akhirnya berhasil juga. Sisi perjuangannya ada di Amerika saat studi di Columbia University. Ia harus nyambi jadi tukang cat dari New York sampai New Jersey. Lalu jadi waitress (pelayan) di mana itu harus naek KA ke Connecticut, dari hari jumat dan pulang minggu sore. Istrinya saat itu juga membantu dengan jadi babysitter. Toh, usaha itu berbuah hasil dengan gelar S2 yang straight A (semua nilainya A). Saat ditanya, itu memang pintar atau nasib baik? Beliau tertawa, nasib baik. Akhirnya dengan nilai straight A itu, berlanjut ke S3 dan kita tahu sekarang beliau bergelar professor dan P.Hd.

Hal terpenting yang diwejangkan pak Azyumardi: kita harus bisa belajar apapun dari lingkungan (itu yang kutangkap). Dan tentu saja semangat untuk bekerja keras.

***

Tiada yang Tak Mungkin (1): Rhenald Kasali

Bagian pertama dari show Kick Andy yang saya lihat kemarin. Oya, Kick andy kemarin berjudul “Tiada yang Tak Mungkin”. Kenapa judulnya dipilih seperti terjemahan slogan Adidas itu? Ya, Kick Andy ingin mematahkan paradigma bahwa orang miskin dilarang sekolah atau biaya pendidikan nasional yang mahal membuat persentase kalangan tak mampu untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang tinggi sangat mustahil. Narasumber yang diundang saat itu membuktikan bahwa biaya pendidikan di tingkat manapun bisa disiasati dan dikumpulkan dengan berbagai cara, asal tekun, bertekad kuat dan sanggup bekerja keras.

Bagi yang sudah lihat mungkin sudah punya inspirasi tersendiri. Bagi yang belum lihat sebenarnya juga bisa lihat di sini.Tapi kalau ingin membaca lebih lanjut tulisan ini, berarti Anda membaca inspirasi yang coba disampaikan itu VERSI SAYA :-). Oke, mari sejenak mengambil inspirasi!

Narasumber pertama itu adalah PROF. RHENALD KASALI,Ph.D. Tidak begitu akrab dengan nama beliau dan prestasinya yang luar biasa? Coba kenali foto ini

Belum jadi tahu prestasi-prestasinya juga? Oke silakan berwiki-wiki ria dulu di sini.

Dengan penampilan yang rapi dan badan yang besar, serta prestasi yang sudah Anda baca tadi, sangat tidak bisa dipercaya kan kalau pak Rhenald dulunya miskin? Bagaimana kisah masa lalunya? Ini dia..

Cobaan berupa kekurangmampuan materi mulai saat ayahnya kena PHK dari pelayaran. Kurangnya skill ditambah sempitnya lapangan pekerjaan saat itu membuat sang ayah tidak punya penghasilan tetap dan cukup. Ibunya sejak awal tidak bekerja. Jadilah Rhenald kecil hidup nelangsa. Makan pake nasi garam. Masuk sekolah pakai sepatu yang dibeli dari pasar loakan, kalau untuk berlari kalau engga kakinya kena paku (karena sepatu tambal-tambalan) ya bagian alas sepatunya membuka. Baju seragam pun hanya punya satu, ibunya setiap hari mencucinya lalu dikeringkan di dekat lampu. Lampu bisa dibilang ‘tanda kehidupan’ keluarganya waktu itu. Kalau lampu mati, pasti sedang tidak ada makanan dan untunglah ada tetangga yang iba sehingga memberi nasi sekedarnya.

Di sekolah (kelas 5 SD), Rhenald pernah sekali tinggal kelas. Saat ditanya bung Andy apa mata pelajaran yang membuat ga lulus, ternyata: bahasa Indonesia! Rhenald kecil tak bisa menjawab lawan kata seperti seharusnya. Ia punya alasan lucu. Begini, kalau ditanya lawan kata ‘kenyang’ ya ‘belum kenyang’, lawan kata ‘cinta’ ya ‘tidak cinta’.. kan kalau orang ditanya ‘apakah kamu cinta?’ dan hati mengatakan tidak, pasti jawabnya bukan ‘aku benci kamu’ melainkan ‘aku tidak cinta kamu’. Ada ada saja..

Berlanjut ke masa menjelang kuliah. Kenapa beliau memilih ekonomi padahal dari jurusan IPA? Alasannya,karena IPA biaya lebih mahal, ia hanya punya 10ribu untuk beli formulir . Singkat kata, ia diterima di ekonomi UI. Kekurangan biaya ditutupnya dengan memberi les ke anak SD. Mengajar apa? Ya, bukan bahasa Indonesia, melainkan matematika. Buku semuanya ia pinjam teman atau kakak kelas.

Terus tahun kedua dapat beasiswa. Saat ditanya apakah paling pintar atau indeks prestasinya gimana, ternyata Pak Rhenald mengatakan IPKnya 2,49. Bung Andy pun sedikit menyindir yang disambut tawa penonton, IPK segitu aja koq dapat beasiswa ya? Pak Rhenald pun tertawa, nasib baik. Setelah lulus dan mengajar (dosen), ia lama-lama ‘ditinggalkan’ karena promosi dsb mengutamakan yang lulusannya lebih tinggi. Akhirnya ia pun bertekad harus bisa sekolah di luar negeri.

Berbagai percobaan gagal, akhirnya dapat juga beasiswa, tapi hanya internship 3 bulan, bukan biaya untuk sekolah. Di saat teman-temannya bisa melanjutkan S2, ia harus pulang karena tidak ada sponsor sekolah. Pada akhirnya ia memberanikan diri untuk menemui bagian yang biasa menyeleksi, mengatakan semuanya sejujurnya, dan ‘minta tolong’ diberi surat tanda diterima dan ia pun bakal pulang untuk mencari sponsor (dengan mengantongi surat diterima, mungkin jadi lebih dipercaya kali ya). Well, pada akhirnya pak Rhenald dapat sponsor juga, usaha keras yang membuat beliau bisa sekolah S2 dan S3 di Illinouis, dan jadilah seperti sekarang.

Hal yang paling menggugah dari Pak Rhenald: seburuk apapun kondisinya, berusalah menghadapi. Cara ampuh yang bisa dilakukan dengan frekuensi interaksi intens yang dimulai dengan datang bersama senyuman. Banyak bantuan dan keberuntungan dari sana!

***

Sebuah tulisan Pak Rhenald Kasali

Ahad sore kemarin, saya melihat tayangan ulang Kick Andy, tayangan yang disebut paling berkualitas di Indonesia (saya setuju itu). Mulai dari narasumber pertama sudah sangat menginspirasi. Narasumber pertama itu adalah Pak Rhenald Kasali, profesor dan guru besar ekonomi UI. Ya, tema Kick Andy saat itu memang profesor yang mengawali dari kemiskinan. Kalau ingin mengetahui inspirasinya, saya sudah membuat resume di sini.

Pada postingan ini, saya ingin men-share salah satu tulisan Pak Rhenald Kasali. (Setelah nonton kick andy, saya langsung googling mengenai ketiga narasumber). Oke, check this out tulisannya! Very good!

Encouragement

Thursday, 15 July 2010

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

RHENALD KASALI

Mantap sekali, kan? Bagaimana pendapat Anda?