Waktu isya baru saja menjelang saat perutku mulai meminta untuk diisi. Ternyata sebotol minuman isotonik belum cukup untuk mengalihkan rasa lapar. Dan keadaan di sekitarku mengatakan bahwa tak kan lebih cepat dari 30 menit untuk sekedar mampir di warung dan membeli makanan ala kadarnya untuk mengganjal perut. Di luar kendaraan berpacu dengan kencangnya. Hanya cap orang gila yang akan kuterima jika minta turun mencari warung. Ya, ini di jalan tol dan aku sedang di dalam sebuah mobil travel yang akan menghantarkanku ke sebuah kota, kota spesial yang telah mengandung dan melahirkan kota-kota yang lain (iya gitu?), makanya disebut Daerah Khusus Ibukota (DKI). Haha
Sesaat kemudian secara konstan mobil melambat. Baru ku sadar malam saat itu tidak menampakkan gemerlap bintangnya. Gelap. Dan sekarang mobil berhenti tanpa komando. Kulihat ke belakang para penumpang travel masih tertidur. Begitu juga penumpang yang di sebelahku. Berarti hanya aku dan pak sopir yang merasakan momen ini. Secara nyata, kulihat tangan seorang cewe di seberang kaca cendela pak sopir. Pak Sopir tahu keberadaan tangan itu, tapi ia berusaha tetap tenang sambil mengambil sesuatu di sakunya. Aku sendiri hanya melihat sejenak lalu memalingkan muka ke depan. Bukankah ini bukan di Cipularang km sekian yang penuh misteri itu? Aku ingin mobil travel ini segera melaju saja. Melaju sekencang mungkin…!
Oke, tenang, paragraf di atas bukan bagian cerita misteri. Mobil melambat dan berhenti karena akan bayar tol, tangan cewe itu adalah petugas tolnya, pak sopir mengambil uang di sakunya, kupalingkan muka ke depan karena cuek (perhatian amat dengan bayar tol). Dan kuingin mobil segera melaju sekencang mungkin, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku lapaaar!!
Entah mulai dari mana travel ini memasuki Ibukota, tapi yang jelas aku sudah menyadari bahwa aku sudah sampai di kota yang baru saja merayakan ultahnya 22 Juni yang lalu itu. Jakarta. Gedung-gedung menjulang, jumlah bangunan pencakar langit yang jelas terbanyak di Indonesia. Kepadatan dan kemacetan mulai terasa. Tapi kata pak sopir, ini sudah jauh lebih mending dari biasanya. Oya, Pak? Sepertinya iya sih, walau aku tak tahu kondisi macet biasanya, yang jelas mobil ini bisa melaju cukup lancar. Selang beberapa waktu kemudian, kulihat gedung Transcorp, perusahaan 2 channel asyik yang konstan mengeksplor Indonesia dan di Bandung baru saja menyelesaikan indoor park-nya yang diklaim terbesar di dunia. Melihat Transcorp berarti tujuan pemberhentian tinggal bentar. Begitulah kata sahabatku yang telah lebih dulu di Ibukota untuk kerja praktek. Well, naek jalan layang Mampang bentar, dan berhenti di seberang kantor pos Mampang. Makasih pak sopir! Dan saya pun turun.
Mampang, Jakarta Selatan. Sepertinya ini belum kompleks utama bisnis dan perkantoran utama di Ibukota, tapi tetap saja jarak pandang sangat terbatas karena gedung-gedung raksasa yang tinggi menjulang. Di pinggir jalan terlihat bagaimana realita hidup berjalan. Belasan tukang ojek menunggu penumpang, bus Kopaja yang penuh, pasar tumpah nan ramai, dan lainnya. Bagaimana mereka berusaha mencari rezeki, mencari sebuah kehidupan yang layak di Ibukota.
Aha, akhirnya. Sahabatku sudah datang menjemput. Kembali jabat tangan dan senyum persahabatan itu lagi. Teman sebangku, eh salah semeja (bangkunya sendiri-sendiri) waktu SMA, di Bandung pun sekamar, eh salah sekosan (dengan kamar yang bersebelahan, bisa ngobrol tanpa harus keluar kamar masing2), dan sekarang kami bertemu lagi di Ibukota. Kalau ini menjadi semacam roda berkelanjutan, aku ingin dan selalu berdoa agar Allah SWT mengizinkan itu kembali terjadi, mungkin saling menjemput/bertemu di Frankfurt Airport, Rotterdam Port atau di Avron Station, untuk mengejar kehausan kita akan intelektualitas. Bukannya “tak perlulah aku keliling dunia, karena kau di sini” seperti di lirik salah satu lagu Laskar Pelangi, tapi “kutahu kubisa keliling dunia, karena kau di sini”. Dan mari mengusahakan lebih (terutama untuk memotivasi diriku sendiri) untuk membuktikan betapa hebat persahabatan kita.
Kami pun berjalan menuju kosan. Melewati pasar tumpah malam hari nan ramai, membelikan mie ayam titipan teman dulu, mengantarkannya, lalu melakukan sesuatu yang sudah kutunggu sedari tadi: makan malam! yeah! Dan sepiring ketoprak mengisi perutku. Sudah lama ga makan ketoprak nih. Alhamdulillah. Enak dan murah! Ternyata tak semua mahal di Ibukota.
Sebentar saja untuk sampai di kosan sahabatku itu. Wah, pintar juga ia memilih kos di sendiri. Rumahnya bagus, tapi harganya terjangkau juga, dan ternyata pemiliknya orang Wonosari, ibukota kabupaten tempat kelahiran ayahandaku. Satu kekurangan, walau itu normal, tidak bisa mencegah udara Ibukota ini yang masih saja membuat gerah walau sudah malam hari. Duduk-duduk di sofa bentar, ngobrol sebelum mau ke destination berikutnya.
Waktu sudah menunjuk pukul 22 saat kami tiba di halte busway Mampang Prapatan. Emang masih ada busway ya jam segini? Yoha, ternyata masih. Dan mengasyikkan sekali karena saat naek, di dalam cukup sepi. Bisa duduk nyaman dan menghirup udara dengan nikmat, kondisi yang tidak kutemui saat naek busway di kesempatan selanjutnya. Hanya 3 halte (sebenarnya rugi juga sih karena bayarnya 3500, harusnya lebih jauh lagi ya). Tahfafa dah. Turun di halte GOR Sumantri. Terlihat di sebelah kanan, GOR Sumantri, Universitas Bakrie, dan tentu saja Bakrie Tower. Tapi tujuan kami bukan di situ, tapi di arah seberangnya. Berjalan kaki sebentar untuk menuju kosan teman yang kerja praktek di Bakrie Telecom.
Tak butuh waktu lama untuk menemui kosan itu. Dan di kosan ini, cukup wah, karena di dalam ada alat untuk menepis rasa gerah (yah, sebut saja AC). Malam hari dilalui dengan ngobrol dan nonton TV bareng. Sometimes untuk masalah yang cukup serius, tapi tetap terasa santai. Hingga tak sadar sudah masuk midnight. Sudah tak lagi Jumat 24 Juni 2011 malah, ini sudah jam 1 dini hari. Oke, istirahat dulu. Capek gan. Semoga energi segera kembali untuk jalan-jalan di Ibukota. Lampu dimatikan, goodnight.
[bersambung]