Hey, Ibukota! (2)

Sudah bukan rahasia lagi kalau transportasi massal menjadi salah satu agenda utama Ibukota Jakarta. Sebagai kota metropolitan terbesar dan terpadat seantero Asia Tenggara, bukan pekerjaan yang mudah untuk mengatasi kesemrawutan di dalamnya. Proyek yang secara kajian dapat mengatasi, atau paling tidak menekan, masalah transportasi ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Termakan kompleksitas masalah dan menghadirkan gerutuan yang paling sering terdengar, “Sial! Macet!”

Saat mulai berpikir tentang itu, saya baru menikmati transportasi massa paling spesial di Ibukota, busway namanya. Kenapa spesial? ya, untuk melaju saja ada jalur tersendirinya. Bisa jalan lancar di jalur lengang sambil melambaikan tangan pada mobil-mobil jalur sebelah yang sedang mengutuki kemacetan. Terlebih saat itu saya cukup nyaman di dalam busway. Bisa duduk, tidak padat penumpang, dan AC yang menyala sungguh terasa menepiskan gerah udara Ibukota.

Saya menikmati dari dalam busway trafik metro-ethernet..eh, bukan, itu mah waktu KP… trafik metropolitan Jakarta. Sejenak saya melihat mobil dengan plat berhuruf belakang 3 (B xxxx ACE). Hmm.. sudah sebegitu banyaknya ya jumlah kendaraan roda empat, sampai huruf belakang ada 3 (normal 2 kan ya?). Dan saya yakin itu (dari 2 huruf di belakang jadi 3 huruf) sudah mulai diberlakukan beberapa tahun lalu. Tak terbayang berapa jumlah kendaraan di Jakarta sekarang. Hmm.. pada nyaman apa? Bukankah cenderung kena macet terus? Nih, saya di sini, naik transportasi massal, bisa duduk leha-leha dengan enaknya. Hidup transportasi massal!

Hari berganti

Dan ternyata semua pikiran saya tentang “kemenangan mutlak” transportasi publik dengan cepat menurun. Pagi itu saya berdiri berdempet-dempetan penuh sesak di dalam busway. Harus berpegang erat untuk menahan getaran dalam bus yang cukup kencang. Di sisi lain, entah karena saya masih merasa asing, ada mata-mata yang saya rasa mencurigakan. Dan sebentar sebentar saya harus mengecek keberadaan handphone dan dompet saya. Oke, mungkin tingkah saya agak lebay. Tapi realita Ibukota yang begitu keras, cenderung memunculkan banyak pula kriminalitas. Dan di area transportasi publik, saat penuh sesak berdesakan gini, kesempatan untuk para kriminal itu semakin besar.

Saya pun melihat barisan mobil pribadi yang terkena macet. Mereka, it’s okay terkena macet. Tapi soal keamanan dan kenyamanan, para pemakai mobil pribadi “menang”. Toh saat terjebak macet, mereka masih sempat menikmati AC, update status di jejaring sosial, atau bahkan nonton TV dulu. Harga mahal sebuah kenyamanan toh bisa bebas mereka beli, uang mengalir sangat kencang di metropolitan ini. Plus tidak adanya kebijakan untuk kendaraan pribadi berupa pembatasan jumlah atau penetapan pajak tinggi, membuat tau sendiri betapa banyaknya kendaraan yang menjejali Ibukota ini. Kalau saya memposisikan diri sebagai pemilik kendaraan pribadi, saya juga akan bilang “Gimana lagi, busway penuh sesak dan mungkin kecopetan di sana. Turun di halte juga belum tentu dekat kantor. Sebenarnya yang bikin macet bukan gw kok, tuh angkutan umum cem angkot, kopaja, metromini yang berhenti seenaknya…”

Nah lho… Kompleksitas itu pun semakin menjadi.