Malam 3 Ramadhan, agenda tarawih keliling kembali di masjid Salman ITB. Sebelumnya memang berencana sholat tarawih di masjid yang berbeda-beda selama Ramadhan 1432 H ini, tapi pikiran itu berubah. Jadi siklusnya: sehari di masjid Salman, sehari di masjid Bandung lainnya. Sudah sangat enchanted sama Salman 🙂
      
Kebetulan, khotib tarawih di Salman untuk malam 3 Ramadhan ini adalah Pak Agung Harsoyo. Salah satu dosen favorit saya, dosen yang sudah menghidupkan mimpi-mimpi saya untuk melanjutkan studi di Prancis. Hoho.. Mantap!
**
Dalam khutbah kali ini, seperti biasa, ada “kutipan ilmiah” khas khutbah Pak Agung. Kutipan yang pertama dari pakar positive psychology (psikologi positif), Martin Seligman, yang menyatakan bahwa ada 5 elemen kebahagiaan yang biasa disingkat dengan PERMA.
P (Positive emotion) — menyangkut hal yang menimbulkan pleasure
E (Engagement) — menyangkut kegiatan yang menantang dan kesenangan menggunakan potensi besar diri kita
R (Relationship) — menyangkut hubungan baik dengan sesama manusia
M (Meaning) — menyangkut penemuan makna (makna hidup/ makna tindakan)
A (Achievement) — menyangkut pencapaian terhadap sesuatu yang terukur/ditargetkan
Ahli psikologi meneliti bahwa setiap manusia dapat improve (meningkatkan) kebahagiaan yang ada dalam dirinya. Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita punya kebiasaan berbahagia, dan terus meningkatkan kebahagiaan diri.
Dalam khutbah ini dibahas terutama mengenai elemen M (Meaning). Sebagai contoh kasus, diceritakan bangsawan yang mencari makna hidup agar dirinya dihormati lagi. Saat akhirnya bertemu seorang guru, guru itu mengatakan “Sebelum kamu mendapat pencerahan, ada pertanyaan yang harus kamu jawab”. Tentu si bangsawan penasaran ingin tahu pertanyaan itu. Sang guru melanjutkan dengan pertanyaan, “Di mana kamu menaruh payung yang kamu bawa? Di sebelah kiri atau kanan tangga?”. Si bangsawan segera keluar dan mengecek di mana ia meletakkan payung. Setelah itu ia segera kembali, belum sempat mengatakan jawabannya, sang guru bertanya lagi, “berapa jumlah anak tangga itu?”. Kembali bangsawan tergopoh-gopoh keluar menghitung anak tangga. Ketemu jawaban dan mau mengatakan, eh sudah ditanya lagi, “Berapa anak tangga yang rusak dan berapa yang utuh?”. Hah, lagi-lagi tergopoh-gopoh.. dan capek juga… Akhirnya ada pelajaran dari sini: Bagaimana kita mendapat pencerahan, kalau apa yang mau kita cari saja kita tidak tahu.
Masih dalam lingkup psikologi positif/psikologi motivasi, ada pakar bernama Carl Rogers, yang berkata bahwa manusia agar dapat menghidupkan hidup, maka ia mesti sadar akan pengalaman hidup, tahu kini dan tahu di sini. Pengalaman hidup akan memberi hikmah dan kebijaksanaan. Dan makin sadar, maka kualitas hidup akan meningkat.
Jika bagian di atas dirangkum dalam 1 kata, maka 1 kata padanan kebahagiaan itu adalah KESADARAN. Termasuk dalam bulan Ramadhan ini, kita juga mesti menjalani dengan penuh kesadaran untuk mencapai kebahagiaan sejati jadi insan yang bertaqwa.
Rasulullah juga mengajarkan kecerdasan dan kebahagiaan, termasuk di bulan Ramadhan. Dalam hadits yang diriwayatkan At-Tabrani
Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkatan. Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do’a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan Dia membangga-banggakan kepada para malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini.
Karena itu, seharusnyalah kita menyambut Ramadhan dengan semangat dan bahagia.
Kemudian, khotib juga mengingatkan untuk mencermati sama-sama mencermati shaum/puasa kita. Puasa tidak hanya menahan untuk tidak makan, melainkan menahan dari sisi nafsu dan kebutuhan. Sayangnya, di Indonesia masih banyak manusia (dan ironisnya kebanyakan petinggi) yang banyak “makan”, tidak ada habis-habisnya padahal sudah kenyang lebih dari kebutuhan. Dengan shaum, kita semestinya bisa menjaga nafsu dan mengerti batas kebutuhan kita. Analoginya, seperti kita sebagai pemakan nasi, makan terlebih dulu membeli beras. Nasi sebenarnya juga beras, tapi telah melalui proses. Beras sebenarnya sama juga dengan padi, tapi telah melalui proses. Kita makan nasi bukan memakan beras, ya kan? Nah, seperti juga mengenai kebutuhan dunia. Pengabdi Allah tidaklah antidunia, ia bisa mengumpulkan nikmat dunia (seperti membeli beras dalam case ini) dan terlebih lagi bisa mematangkan/mentransformasikan sehingga bermakna akhirat.
Wow, sudah dapat banyak dari khutbah yang singkat ini kan?
Semoga kita bisa dapat lebih banyak lagi, juga terus mengusahakan yang lebih banyak untuk kebahagiaan menjadi insan yang bertaqwa.
Bismillahirrahmanirrahiim…