Malam 5 Ramadhan, agenda tarawih keliling kembali ke Masjid Salman. Jamaah masih penuh seperti biasanya. Jamaah yang rapat dan bacaan yang merdu enak didengar, masih ideal seperti biasanya. Untuk khutbah malam ini, khotibnya adalah Pak Syarif Basyir, ketua Al-Irsyad Purwokerto yang juga alumni TI ITB’75. Khutbahnya panjang lebar, jauh lebih lama dari waktu yang dipesankan di awal (20 menit), tapi tetap sampai akhir jamaah antusias mendengarkan. Tentu karena isi dan penyampaiannya khutbahnya bagus sekali. 😀
**
Khotib memulai khotbah dengan mengajak jamaah untuk senantiasa bersyukur, alhamdulillahirabbil’alamiin karena nikmat Allah yang teramat banyak, terutama kita sudah terlahir di keluarga dan lingkungan muslim. Mungkin kalau tidak begitu, bisa jadi saat ini, di bulan yang mulia ini, kita justru membenci Islam.
Dalam salah satu ayat suci Al-Qur’an berikut disebutkan:
Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik yang kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah jika memang hanya dia saja yang kamu sembah. (Al-Baqarah: 172)
Yang patut dicermati dari ayat tersebut adalah kita, sebagai seorang muslim dan mukmin, harus punya sesuatu sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Dalam setiap tindakan yang dilakukan hendaknya juga dipikirkan bahwa setiapnya ada pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Wujud syukur yang konkret adalah dengan beramal sebanyak-banyaknya dan menjadi manfaat bagi banyak orang.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, tidak perintah untuk mendahulukan diri sendiri dibanding orang lain, kecuali dalam 1 hal. Hal apa itu? Ya, hablum minallah. Dalam hal hubungan dengan Allah SWT (ibadah), kita mesti mendahulukan dalam rangka fastabiqul khoirat. Tetapi jika sudah masuk lingkup hablum minannas, maka anjurannya adalah kita lebih peduli, punya empati, punya kemanfaatan dan tidak mendahulukan diri sendiri. Inilah yang masih kurang di negeri kita, mengenai memberi manfaat dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi dulu. Kiai Zainuddin MZ pernah mengatakan, masalah utama bangsa (penyakit masyarakat) Indonesia pada dasarnya adalah: “yang mau tidak mampu, yang mampu tidak mau”. Hmm… benar juga ya… yang punya niat malah banyak yang kurang mampu, sedangkan yang mampu malah banyak mngkritik tidak solutif, tidak mau menjadi solusi.
Untuk menjadi manusia unggul, untuk menjadi manusia yang bisa memberi banyak manfaat, maka yang terpenting dilakukan adalah mewujudkan akhlaqul karimah. Kita mesti punya karakter dan akhlak yang baik. Sedangkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, sebagaimana disorot oleh khotib, justru terlupa akan salah satu tujuan utamanya yakni membentuk karakter. Selama ini, banyak yang sekolah dan melulu mengejar nilai dengan segala cara. Tidak mengedepankan karakter keinginan kuat untuk belajar dan faktor integritas (kejujuran). Tak heran negara ini penuh dengan koruptor. Di ITB sendiri, tiap tahun ada sambutan dengan embel-embel “Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa”, tapi kalau keluar jadinya koruptor..wah lebih dari sekedar malu-maluin..
Selama ini kebanyakan dari kita justru melupakan tugas kita dan “mengerjakan tugas Allah SWT”. Maksudnya? Ya kita sering terlupa untuk menjadikan diri kita sebaik mungkin dengan akhlakul karimah. Kurang menjaga hubungan dengan saudara/teman padahal sikap Allah SWT kepada kita cenderung sesuai sikap kita terhadap sekitar. Dan bagaimana bisa kita justru disibukkan dengan wewenang Allah, yakni menentukan takdir. Acapkali kita terlalu banyak berandai seolah kita yang punya wewenang menentukan takdir, tanpa usaha yang cukup. Naudzubillahi min dzalik.
Salah satu wujud rasa syukur dan memberi kemanfaatan adalah memberi shodaqoh atau memenuhi kewajiban zakat. Janji Allah niscaya akan terpenuhi manakala kita telah menjalankan tuntunan-Nya. Dalam kasus shodaqoh/zakat, sering kita terlalu berhitung-hitung dalam mengeluarkan uang (baca: pelit) padahal janji Allah adalah melipatgandakan rezeki kita. Tidak pernah harta kita terkurangi karena kita membagikan harta untuk shodaqoh/zakat. Justru sebenarnya “kepemilikan” kita terhadap suatu materi baru didapat selepas kita membagikannya (shodaqoh/zakat). Mengenai keutamaan zakat ini, khotib bercerita bahwa beliau pernah menemui satu petani, yang sebelumnya tidak tahu kalau pertanian itu ada zakatnya. Selepas ia tahu, ia bernazar akan berzakat 10% (ketentuan dasar sebenarnya 5%). Hasil pertanian rata-rata di daerah itu sekali panen adalah 28 kuintal. Zakat 10% berarti si petani keluar 2,8 kuintal dan masih mendapat 25,2 kuintal. Eh tak dinyana, setelah niat mulia itu, hasil panennya justru melimpah, sebanyak 35 kuintal. Dengan zakat 10%, petani masih 31,5 kuintal. Hasil yang didapat tidak berkurang tapi justru lebih besar kan? Hikmahnya: ketika kita mau berbagi (dalam hal ini zakat), Allah akan melimpahkan, akan melipatgandakan rezeki-Nya pada kita. Subhanallah…
Satu hal penting dalam khutbah ini adalah: JADILAH MUSLIM YANG SEBENARNYA. Muslim yang sukses, yang bisa memberi suatu kemanfaatan untuk orang banyak sebagai wujud syukur pada banyaknya nikmat Allah SWT. Muslim yang memiliki karakter, akhlak karimah. Muslim yang bisa menolong agama Allah.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan terus mengupayakan menjadi muslim yang sebenarnya.
Bismillahirrahmanirrahiim….