Malam 16 Ramadhan.. Kali ini meniatkan tarawih dengan menempuh jarak yang cukup ekstrem dari kosan, lebih dari 10 km. Ide untuk sholat tarawih di Masjid Al-Irsyad Kota Baru Parahyangan, Padalarang, ini tercetus saat saya berkunjung ke Puspa Iptek The Biggest Sundial (baca di sini). Selepas berkunjung di tempat peragaan iptek di kompleks elite itu, saya berkesempatan sholat Ashar di masjid sekitar sana. Ternyata masjidnya sangat nyaman dan benar-benar membuat rindu ke sana lagi. Dan sesaat setelah itu langsung tercetus, waktu Ramadhan harus sempat sholat di masjid ini, walau hanya sekali. Jarak jauh tak jadi kendala.
Apa yang istimewa dari Masjid rancangan arsitek kenamaan Indonesia, Ridwan Kamil ini? Lihat dulu tampak luarnya. Seperti miniatur Masjidil Haram (Ka’bah), dengan dinding yang detailnya dibentuk kaligrafi syahadat. Pada saat azan maghrib menggema sampai malam hari, cahaya yang terang dari dalam masjid akan memancar keluar. Ini seolah sebagai ajakan memanggil umat untuk beribadah. Cukup sampai situ? Tentu tidak. Konsepnya yang memadukan dengan balutan alam menciptakan rasa tentram tersendiri. Dinding depan (menghadap kiblat) dibuat terbuka menghadap langsung ke alam, terdapat kolam di depan shof pertama yang menyejukkan, kaligrafi Allah yang bercahaya di tengah kolam, serta dinding-dinding masjid berventilasi sempurna. Belum lagi karpet yang nyaman dan tutup lampu bertatah Asmaul Husna. Luar biasa. Tak salah kita masjid ini memegang predikat 1 dari 5 bangunan terbaik (Building of the Year) 2010.
Subhanallah. Alhamdulillah. Laa ilaaha illallah. Selain kenyamanan dari tempat ibadah, Khutbah tarawih malam ini oleh khotib Ustad Fajar juga sangat menarik. Disampaikan dengan penuh senyum, mungkin ustad yang paling renyah senyumnya selama khutbah tarawih Ramadhan ini, dengan materi yang bagus. Benar-benar menentramkan bisa beribadah di masjid ini.
**
Dalam khutbah malam ini, khotib menjelaskan mengenai hadits Qudsi berikut:
dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.’
(Hadits Riwayat Bukhori Muslim)
Dari hadits Qudsi itu, tersurat salah satu keistimewaan shaum, yakni langsung untuk Allah SWT. Tapi bukankah semua ibadah juga untuk Allah SWT? Ya, tapi jika dalam ibadah lain disebut balasannya 10 sampai 700 kali lipat besarnya, shaum ditentukan langsung oleh Allah SWT. Bisa sangat banyak tanpa ditentukan ukurannya. Dan kalimat dalam hadits Qudsi di atas merupakan bahasa cinta Allah..
Bahasa cinta bagaimana?
Coba kita renungkan lagi, kalau kita semua umat muslim shaum, Allah untung atau rugi? Lalu jika seluruh manusia di dunia ini juga shaum, maka apakah Allah juga untung, atau rugi? Tidak sama sekali. Shaum untuk-Nya itu adalah bahasa cinta Allah, bahwa Allah membuka selebarnya pintu rezeki dan ampunan sebagai cinta-Nya kepada manusia.
Oke, mari ditinjau dari keberadaan manusia. Manusia itu lebih mulia dibanding makhluk Allah yang lain, apa karena diciptakan dari saripati tanah atau karena dihembuskan ruh di dalam raganya?
Kalau manusia mulia karena diciptakan dari tanah, tentu malaikat tidak sampai “interupsi”. Malaikat pernah protes kepada Allah secara halus mengenai alasan manusia menjadi khalifah, padahal makhluk dari tanah itu senang membuat kerusakan. Tapi Allah SWT menjelaskan mengenai keberadaan ruh pada manusia. Sedangkan iblis, yang sampai akhir tidak mau tunduk dan akhirnya dilaknat Allah, karena merasa api itu lebih unggul dari tanah. Jadi apa yang membuat manusia mulia? RUH. Bukan karena dari tanah.
Lalu, kenapa kita, manusia, yang katanya mulia itu, masih saja terlarut menyibukkan diri dengan “tanah”?
Kita mengejar materi, itu kan hubungannya dengan tanah. Kita ingin punya kekuasaan, hubungan dengan tanah juga. Kita ingin makan yang enak-enak, hubungan dengan tanah juga. Kita mau punya pekerjaan, mau kaya, dan terus saja hanya mengejar hal-hal berbau saripati tanah. Sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan ruhiyah diabaikan. Merasa mulia?
Oya, ada yang bagus.., ini ni..
Mau kaya? Mau. Pasti. Nah, sebenarnya jadi kaya itu peluang atau kepastian sih? Benar, peluang.
Mau mati? Pasti enggak. Nah sebenarnya mati itu peluang atau kepastian sih? Kepastian..!
Nah,, aneh kan.. bersibuk-sibuk dengan peluang (yang belum tentu dapat) tapi lupa dengan yang sudah pasti. Katanya suka yang pasti-pasti aja…
Inilah pelajaran bagi kita di bulan Ramadhan, bulan yang diberikan sebagai wujud cinta Allah pada manusia, untuk menyadarkan dan meningkatkan akan amalan ruhiyah. Jangan dianggap Ramadhan itu sekedar musim (kaya musim rambutan, musim durian aja), hanya sekedar rutinitas tahunan. Di bulan Ramadhan inilah, kita mestinya sadar dari mana asal kita, dan sebenarnya apa yang membuat kita mulia. Jangan hanya terpikir menahan lapar, menahan haus, melulu sibuk dengan memikirkan urusan tanah. Ramadhan itu bulan ruhiyah, bukan bulan tanah
Mari mengambil hikmah. Mari kita renungkan. Mari menjadi lebih baik.
Bismillah..