A Little Tribute To Muhammad Agfian Muntaha Adiantho

Bismillahirrahmanirrahim…

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah SWT, karena sudah mengizinkan saya menulis dengan perasaan yang sangat riang kali ini. Walaupun saya memang suka menulis, tapi jarang menulis seriang  tulisan ini.

Berawal dari notification FB berisi link dari friend saya dengan judul yang amat menggelitik:

A Little Tribute To Ahmad Mushofi Hasan

tribut untuk saya? ahaha,, aya-aya wae.. absolutely crazy, but of course.. nostalgic and marvellous..

karena itulah saya mempersembahkan tribute balasan ini untuk my first best friend, Muhammad Agfian Muntaha Adiantho.

Yuph, saya dan Fian atau Om Pian (panggilan akrab saya untuk beliau :P) sudah saling kenal sejak lama, mungkin sejak di alam ruh. Oh, ga sebegitu juga dink. Yawda, agar terdengar lebih realistis, kami sudah berkenalan sejak balita, tepatnya semenjak kami akan menginjak bangku (maaf, maksudnya duduk di bangku.. sorry, we are always polite) Taman Kanak-Kanak (TK). Kami bertetangga, rumah masing-masing berada di gang yang sama di perumahan yang tentram damai, dengan jarak selemparan batu bermassa 3,14 gram.

Kehidupan TK kamu lalui bersama dengan sangat menyenangkan. Karena kami sama-sama punya background orang tua yang ahli bahasa Indonesia, jadi kami suka membaca (nyambung ga tuh?). Mungkin suka membaca, atau mungkin suka liat gambarnya, majalah BOBO jelas jadi favorit. Baca bareng, makan bareng, tidur bareng, diskusi bareng (auwah.. sebuah diksi yang megah tapi keterlaluan untuk menggantikan kata “ngobrol” masa anak-anak) entah di manapun tempatnya. Kami baru sadar setelah adzan maghrib kalau ternyata kita berbeda rumah, itupun taunya karena dijemput orang tua (lol). Saat PP ke TK dijemput becak pak Sukir sampai saat tamasya TK yang menyewa gerbong kereta ke Wonogiri, kami selalu duduk berdampingan. Luar biasa mesra. Coret kata homo, kami hanyalah anak kecil polos yang sangat akrab.

Setamat TK, kami melanjutkan ke SD yang berbeda. Saya di SD negeri, Fian di SD islam swasta. Biar pandangannya luas, ntar bisa sharing SWOT masing-masing suasana SD kan (wow!). Tapi kita masih sama-sama kok, yakni TPA bareng di MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) Syarif. Ketahuilah, ini aib yang mengagumkan.. Karena masuk kelas di saat sudah hampir ujian akhir dan di saat Jiraiya sedang jago-jagonya (ups), akhirnya untuk pertama dan terakhir kalinya kami merasakan: Tinggal kelas!! Ya, ini nyata. Apa yang kami rasakan? Oh, biasa saja. Terus melangkah dan akhirnya dengan usaha, doa dan pedang cahaya kemilau, kami membuktikan bahwa tinggal kelas itu hanya dramatisasi saja.

Di SD ini kami mengenal video game (Nintendo, PS) dan internet. Untuk yang pertama Fian tau lebih dulu. Yang kedua saya memang tau lebih dulu. Tapi tetap saja, kalau maen Nintendo atau ke warnet, ya bareng-bareng lagi. Ngenet ampas dengan buka MiRC dan situs ngakak.net (sekarang jadi ketawa.com). Yah,paling ga kita tahu betapa menyenangkannya internet. Termasuk akhirnya untuk sama-sama blogging seperti ini.

Sewaktu SMP dan SMA, sekolah kami lagi-lagi berbeda. Tapi tak masalah karena masih ada pemersatu kita, tak lain tak bukan adalah BOLA. Baik tabloid BOLA, maupun maen bola di lapangan gedhe. Tentu saja saya berterima kasih sekali pada Fian karena dia langganan tabloid BOLA, sehingga rasa haus saya akan info sepakbola bisa terobati tanpa keluar uang. Bahkan sering saya sudah baca semuanya duluan sebelum yang berlangganan membaca lho. Hehe.. Dan saya sangat berterima kasih pada Fian, karena entah dalam faktor sekecil apa, kegilaan saya akan sepakbola turut andil juga “melontarkan” saya ke ITB, dan semoga juga ke Eropa. Amin.

Wew.. sekarang kami sudah berpencar demikian jauh ternyata. Saya di Bandung dan Fian di UGM Jogja. Tidak banyak waktu untuk ketemu langsung. Tapi dengan internet, yang kami mulai nikmati dengan konyol dulu, silaturahmi masih ada. Dari FB maupun blog. Bloggingnya.. tulisannya.. yuph, memang punya darah penulis hebat dia. Dengan duluan blogging, dan saya baca post-postnya, saya yang seringnya serius ini belajar untuk menulis dengan gaya serenyah mungkin. Termasuk tulisan ini, murni terdorong karena tulisannya.

Hey Fian, Om Pian, :-D.. thanks to the crazy little thing called “Tribute” 😛

dan tentunya menemani dalam 2 hal sangat menyenangkan bernama “internet” dan “sepakbola”

Sejak kecil sampe sekarang emang kamu paling bisa bikin hal-hal seru… benar-benar jago… haha

Always be better and better.. Sampai akhirnya kita bisa membuktikan lagi kalau hal2 buruk di masa lalu hanya “dramatisasi” saja..

I hope success and Allah will always be with you, too… 🙂

 

*Seperti saat kita lari keliling perumahan dengan seragam tapak suci yang merah menyala, dengan senyum penuh kemenangan hati kita berkata, “WE CAN RUN!”

 

 

 

Makna 100 Years.. Sebuah Ironi..

Dalam salah satu buku favorit saya, “7 Habits for Highly Effective Teens” karya Sean Covey, ada yang namanya langkah-langkah bayi. Yakni langkah-langkah kecil untuk membentuk suatu kebiasaan. Sebuah panduan yang sangat bagus untuk menjadi pribadi yang efektif. Oke, saya masih belum jadi pribadi efektif, masih terus berusaha ke arah sana,, tapi tak ada salahnya untuk share bukan? Biar kita sama-sama bisa jadi pribadi yang lebih baik.

Nah, yang ingin saya share kali ini adalah langkah bayi untuk Langkah 0-Paradigma dan Prinsip, step nomor delapan: “dengar lirik musik yang Anda senangi dan maknai terhadap prinsip-prinsip hidup”

Hmm.. dan apa musik yang paling saya senangi? Apa yah.. Hmm… Desir angin, gemerisik daun, gemericik air, nyanyian flora fauna yang berdzikir membentuk “simfoni alam” nan menyejukkan hati. Tapi lirik apa dong yang bisa saya share di situ kalau yang mendeskripsikan hanyalah hati?

Kalau sudah begitu, lirik yang bisa dikenali sama2 mungkin lirik yang sudah terkenal di dunia ini. Tak sedikit lagu yang liriknya sangat saya sukai, di antaranya “100 years” dari Five for Fighting, “Over the Rain”nya Flumpool (OST Bloody Monday) dan beberapa yang laen. Kali ini yang disebut pertama dulu ya.. Memaknai lirik 100 years… Sebuah lagu hits jadul tapi punya makna sangat dalam yang tak lekang oleh waktu, karena maknanya emang berhubungan dengan waktu itu sendiri sih..

Lagunya bisa didengar di sini atau didownload dari sini

Oke daripada berlama-lama yuk langsung ke penggalan liriknya:

I’m 15 for a moment   Caught in between 10 and 20
And I’m just dreaming   Counting the ways to where you are
Di sini, si someone (mewakili “manusia berumur 100 tahun” yang jadi tokoh utama di lirik lagu ini) sedang berusia 15 tahun (I’m 15 for a moment). Di umur segitu, yah sedang labil-labilnya lah ya.. makanya disebut “terperangkap antara umur 10 dan 20” (caught in between 10 and 20).. 10 untuk mewakili unsur kekanakan, 20 untuk usia dewasa. Intinya, masih mencari jati diri dah (I’m just dreaming, counting the ways to where you are)
I’m 22 for a moment  She feels better than ever
And we’re on fire   Making our way back from Mars
Si someone udah berusia 22 nih (I’m 22 for a moment). Nah, ini sedikit di atas umur saya saat per 2011 ini lah ya.. Udah mulai dewasa, mulai galau untuk cari pasangan hidup, diwakili dengan kata kias she (She feels better than ever). Si dia kok makin memukau aja ya (auwah..). Plus sedang semangat-semangatnya  merancang impian akan masa depan (We’re on fire, making our way back from Mars).
15 there’s still time for you
Time to buy and time to choose
Hey 15, there’s never a wish better than this
When you only got 100 years to live
** Nah, sudah masuk Reff untuk pertama kali,, dan karena ini inti pesannya.. jadi di loncat dulu.. kita bahas di akhir ya.. 😉 **
I’m 33 for a moment   Still the man, but you see I’m a they
A kid on the way   A family on my mind
Si someone udah masuk kepala 3 nih (I’m 33 for a moment). Masih seorang yang maskulin berjiwa matang dengan istilah man, tapi dengan tanggung jawab keluarga. Makanya disebut you see I’m a they. “They” kan kata untuk jamak tuh, maksudnya diliat sebagai seorang pemikul keluarga.. Sudah mulai mengurus anak (A kid on the way) dan pikiran mulai terfokus untuk kepentingan keluarga (A family on my mind).
I’m 45 for a moment    The sea is high
And I’m heading into a crisis   Chasing the years of my life
Then, si someone sudah berusia 45. Cobaan hidup mulai meninggi, terutama tingginya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan (the sea is high), mulai menghadapi yang namanya krisis (I’m heading into a crisis). Anak sudah beranjak dewasa, perlu biaya pendidikan dan uang saku yang tinggi. Sehingga setiap saat seperti dikejar waktu untuk menghadapi memuncaknya kebutuhan itu. Kalau dianalogikan, ya di sekitar umur seginilah orang tua saya sekarang.
Dan ketika saya mendengar lirik ini dengan sedikit mengubah sudut pandang dari sisi orang tua saya, wah.. tak terasa menitikkan air mata. Ibu dan Bapak memang sepertinya (atau mungkin normal untuk insan berusia kepala 4) sedang menghadapi kompleksitas masalah. Walaupun dari dulu saya tidak pernah meminta uang saku, tapi tetap saja orang tua akan selalu terpikir untuk memberi (tentu untuk memenuhi kebutuhan yang semakin besar). Pengen segera mandiri deh..
Half time goes by
Suddenly you’re wise
Another blink of an eye
67 is gone
The sun is getting high
We’re moving on…
Nah, si someone udah melewati setengah usianya (Half time goes by). Tiba-tiba sudah jadi orang bijak (suddenly you’re wise) yang sudah mengecap banyak asam garam kehidupan. Usia mulai beranjak, penglihatan (baik secara definitif kemampuan mata atau secara konotatif terhadap kehidupan) udah sedikit kabur (another blink of an eye). 67, jelas itu sudah masa pensiun. Si someone merasa pelita hidupnya (anak, cucu, keluarga lah) udah mulai menghadapi kompleksitas mereka masing-masing sehingga terkadang merasa kesepian, mereka kok berasa sangat jauuuh (The sun is getting high). Tapi waktu masih terus berjalan (We’re moving on)..
I’m 99 for a moment  Dying for just another moment
And I’m just dreaming  Counting the ways to where you are
Si someone sudah 99 tahun. Artinya? yah, tinggal 1 tahun lagi sisa hidupnya. Tinggal menanti datangnya ajal (dying for just another moment). Dan di saat seperti inilah, ingin rasanya mengulang lagi apa yang sudah diberikan oleh waktu,, menghitung jalan untuk bisa muda lagi, bisa menikmati hidup lebih baik lagi. Sudah hampir 100 tahun, tapi rasanya itu tak cukup. Ingin dan ingin rasanya hidup lagi.
Sedih banget ya kalau dalam kondisi seperti ini? 😦
Dan, kita bahas Reff dari lirik lagu yang jadi pesan utama tentang prinsip pemanfaatan waktu…
15 there’s still time for you
Time to buy and time to choose
Hey 15, there’s never a wish better than this
When you only got 100 years to live
Saat kita sedang terperangkap antara sifat kekanakan dan kedewasaan (digambarkan dengan umur 15), sebenarnya di situlah waktu krusial. Waktu di mana kita bisa memahami, mencoba dan memaksimalkan apa sih yang jadi potensi kita (Time to buy and time to choose), waktunya untuk memilih jalan hidup yang kita mesti jalani dengan penuh tanggung jawab. Agar tidak menyesal di kemudian hari, terlebih di hari tua. Bahkan ketika kita diberi umur 100 tahun sekalipun, kita akan sadar bahwa nikmat umur dan waktu sangatlah berharga… berapapun umur dan waktu yang diberikan Allah SWT…
Kita tak tahu apakah umur kita 100 tahun, 63 tahun, 22 tahun atau bahkan hanya 15 tahun. Semuanya akan sama saja jika kita tidak memanfaatkan umur kita, yap bisa jadi kita akan “terjebak oleh kebutuhan” atau “terjebak oleh waktu” seperti deskripsi di atas, kala begitu maka di akhir-akhir kita bakal menyesal. Menyesal. Akan menjadi sebuah ironi tentunya.
Detik ini adalah waktu terbaik… Hari ini adalah hari terbaik untuk memanfaatkan waktu… Prinsip yang semestinya kita pegang..
Bismillah.. Semoga kita bisa jadi insan yang senantiasa menghargai dan memanfaatkan waktu 🙂