Pengalaman Mengurus Paspor (Bandung)

Minggu ini, karena masa perkuliahan semester 7 sudah usai dan tinggal menyisakan 2 ujian dan 1 seminar Kerja Praktek (KP), saya akhirnya berkesempatan juga untuk membuat PASPOR. Mau ke luar negeri manakah saya? Hmm.. Saya sendiri juga belum tau pasti, meski tentu punya plan tersendiri. Yang jelas saya sangat terinspirasi oleh tulisan pak Rhenald Kasali tentang paspor, “surat ijin memasuki dunia global” (bisa dibaca di sini). Yuph, semoga dengan mulai memiliki paspor, gerbang global itu mulai terbuka.. ๐Ÿ™‚

Oke, langsung lanjut aja ke cerita pengalaman mengurus paspor.. disusun berdasar timeline.. Baca lebih lanjut

Tulisan Inspiratif Pak Rhenald Kasali- Paspor

Setelah beberapa waktu, Pak Rhenald Kasali ternyata sangat-sangat berhasil menginspirasi saya lagi dengan tulisan dan pandangannya yang luar biasa. Kali ini mengenai PASPOR.. (dua tulisan sebelumnya dari dan tentang Pak Rhenald dapat dibaca di sini dan sini). Tulisan ini sebenarnya sudah cukup lama, terbit di harian favorit saya Jawa Pos tertanggal 8 Agustus 2011. Semenjak itu saya jadi tergerak untuk bikin paspor, tapi karena sempatnya baru minggu ini.. maka saya akan share pengalaman saya dalam mengurus paspor. Sebagai pengantarnya, mari flashback sejenak ke tulisan inspiratif PASPOR dari Pak Rhenald Kasali berikut:

**

Jawapos, 8 Agustus 2011.

PASSPORT โ€“ By Rhenald Kasali

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki โ€œsurat ijin memasuki dunia global.โ€. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

โ€œUang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?โ€

Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali

Kisah 2 Sepatu

Dua minggu lalu, saya kembali mengalami kontadiksi oleh sesuatu yang almost same (nyaris… sama persis). Kalau sebelumnya saya pernah mengalami hal serupa dalam case travel Jakarta-Bandung, kali ini.. yah seperti judul: 2 sepatu..

Tak dipungkiri lagi kalau hobi saya adalah bermain futsal. Hobi yang cukup terfasilitasi di sini: sudah futsalnya sendiri emang sudah jadi olahraga tren nasional, lapangan futsal banyak, teman sekosan dan sejurusan mayoritas hobi futsal pula. Tapi mengingat ini di Bandung, bukan depan Smansa atau lapangan futsal Solo, memakai sepatu adalah hal wajib (sebenarnya di mana-mana kalo mau olahraga juga wajib sih, tapi aturan di Solo lebih fleksibel–> banyak yg membolehkan telanjang kaki asal resiko ditanggung sendiri ๐Ÿ™‚ )

Dari situlah bermula kisah 2 sepatu ini.. Sepatu yang pernah menemani selama main futsal di Bandung..

Sepatu 1

Ada satu hal “monumental” (auwah..) berhubungan dengan sepatu pertama saya ini. Inilah kali pertama saya membeli barang via online (Hal yang nantinya mengubah pandangan saya tentang bisnis online yang ternyata sangat prospektif itu). Membeli barang dengan hanya liat2 di internet, make a contact dengan penjualnya lewat sms, dan make a deal. Beberapa hari kemudian barang sampai. Praktis.Yeah

Sepatu pertama saya ini Adidas Questra hitam-emas (so pasti KW), ini ilustrasinya:

Membeli barang dari internet, berarti hanya dengan melihat tanpa mencoba kan? Kalo ga pas ukuran atau ga nyaman dipake gimana?

Kekhawatiran yang sempat hinggap itu ternyata memudar. Dengan sepatu ini, saya merasa sangat nyaman, baik saat memakai di lapangan futsal atau buat jalan ke kampus. Ikut di beberapa turnamen (walau ga pernah menang), mencetak beberapa gol (satu atau dua gol surprisingly beautiful.. hoho) yang mungkin ga bisa tanpa sepatu ini, dan ga pernah cedera. Mantep.

Terlepas dari yang terjadi di lapangan futsal, hal yang saya catat di sini adalah: belanja online, walaupun hanya liat barang (ga bisa langsung coba), ternyata bisa dapat barang yang bagus secara praktis. Oke juga ya belanja online…

Sepatu 2

Hampir dua tahun hingga akhirnya sepatu Adidas questra saya udah tak layak pakai. Walaupun masih bisa buat lari dan nendang, tapi udah hancur lebur lah. Mengingat pengalaman belanja online sebelumnya, tak perlu pikir panjang bagi saya untuk belanja online lagi, beli sepatu futsal baru! Yeah!

Lewat komunitas online yang sama (sebut saja Kaskus.. #eh), penjual yang sama, plus model dan harga sepatu yang nyaris sama persis, dapatlah sepatu Adidas F5 putih-kuning, ilustrasinya:

Tanpa banyak khawatir, deal transaksi dan sampainya barang ke kosan berlangsung dengan cukup cepat. Bayangan saya, tentu saja sepatu ini akan sama bagusnya, dan mungkin lebih bagus karena baru. Well then, what experiences did I get?

Hmm.. Extraordinary Bad!

Hah?

Yuph..

Pertanda buruk datang saat ukuran sepatu 42 yang saya pesan kekecilan. Bonus gratis ongkos kirim karena pernah transaksi sebelumnya hangus deh karena harus kirim balik ke si penjual (di Jakarta) buat ganti ukuran. Selang beberapa hari, sepatu ganti dengan ukuran 43 sampai. Saya coba lagi, dan masih kekecilan!

Wah, masa ukuran kaki saya naik 2 size? Apa saya jadi gemuk? atau mengalami gigantisme spontan (wekz)? ah, ga deh.. apa pengaruhnya sama kaki.. tapi nih, wah bener deh ngepress bangeet..

Yawda deh, karena males balikin lagi kena ongkir lagi, saya coba deh ni sepatu untuk jogging keliling Saraga (Sasana Olahraga Ganesha) 6x, standar minimal anak kampus Ganesha. Lari lancar sampai 6 putaran, sebelum perubahan menyakitkan terjadi, tumit saya ternyata lecet parah.. selecet-lecetnya sampai buat jalan normal aja jadi ga nyaman.. hikz..

Karena sepatu baru yang ga nyaman ini, beberapa minggu saya maen futsal (biasanya saya maen futsal 2 minggu sekali) pake sepatu lama walau udah jebol-jebol. Sambil menunggu kalau-kalau setelah didiemin beberapa minggu, ni sepatu baru berbalik peruntungannya jadi lebih baik. Hehe..

Minggu demi minggu berlalu, dan tiba saatnya untuk coba sepatu baru lagi. Sepertinya sudah saatnya nih, momen yang tepat di semifinal futsal EE Games (turnamen internal HME ITB). Dalam hati saya sudah menarget bikin banyak gol, karena dengan sepatu lama saja bisa ngegolin 3 hanya di 1 pertandingan penyisihan (hoki sih..).

Siang hari saat waktu pertandingan itu tiba. Tali sepatu sudah saya ikat longgar mengingat apa yang sudah saya bilang tadi, sepatu ini terasa sangat sempit. Masuk lapangan dengan penuh semangat, mengejar bola untuk merebut dan mencetak gol. Then, cukup 3 menit!! Cukup 3 menit untuk mencetak golkah? Sayang sekali bukan Kawan. Cukup 3 menit sepatu baruku ini mengantarku ke cedera paling parah selama saya main futsal, atau kalau mau digeneralisir lagi: selama saya bermain olahraga, ever. Luar biasa. 2 kali pakai, 2 kali cedera. Rasa sakit yang di siang hari tak begitu terasa, sore hari saya sudah tak bisa jalan normal lagi. Benar-benar hanya bisa tiduran, atau jalan pelan-pelan dengan dinding sebagai penyangga. Sebelah mata kaki kanan membengkak. ENGKEL!!

Baru kali ini saya mengalami sakitnya cedera engkel. Luckily, walau sempat sampai disuruh ortu untuk rontgen, recovery kaki saya berjalan lancar. Setelah pijet (luar biasa sakit gan!), beberapa jam kemudian udah bisa jalan normal. Udah bisa sholat ke masjid lagi (alhamdulillah..), dan tak sampai seminggu untuk bisa kembali berlari dan melompat dengan normal. Membuktikan kalau emang sudah sembuh total. Khawatir juga sih awalnya karena sampai disuruh rontgen, tapi di satu sisi itu juga jadi sugesti biar cepat sembuh. Kecuali untuk jenguk teman yang sakit atau -mungkin- untuk jemput bu dokter ntar (#upss..), ga mau lagi deh masuk apalagi opname di rumah sakit.. Bukan trauma, tapi ya seperti itulah salah satu doa yang selalu kupanjatkan pada Allah SWT: nikmat kesehatan.

Then, yang dapat saya ambil dari sini: belanja online itu emang menguntungkan (dalam hal kepraktisan/ efisiensi waktu), tapi kalau urusan sepatu olahraga gini.. mending beli di toko langsung aja deh. Walau harganya mungkin lebih mahal, tapi ada untungnya bisa langsung coba dan pilih yang nyaman. Sepatu yang tidak sesuai terbukti jadi salah satu faktor yang memungkinkan cedera fatal dalam olahraga. Olahraga itu tujuannya biar tubuh jadi sehat, eh kok malah jadi sakit.. berabe kan….

Nah, begitulah..