Pergilah Melihat Dunia

Pergilah melihat dunia, Anakku..

Dengarkan gunung-gunung bergema memanggilmu, Nak..

Atau lautan bergelora mengundangmu

 

Maka berangkatlah..

Biarkan alas kakimu yang paling jauh hanya pergi sekitaran rumah akhirnya menjejak ribuan mil

Biarkan debu perjalanan menempel di sleuruh pakaian

Jangan cemas banyak hal

Jangan berpikir terlalu panjang hingga ragu datang

Lihatlah dunia terbentang..

 

Dengarkan nyanyian lembah-lembah hijau, Nak..

Atau padang stepa, padang sabana luas, hingga debu padang pasir..

Atau menyentuh lembutnya pucuk salju dingin menyenangkan..

 

Jangan habiskan hidup hanya antara bangunan, jalan setapak, kendaraan, itu-itu saja..

Jangan habiskan pagi, siang, sore, malam di jendela yang sama, menghela nafas seolah lega..

Jangan habiskan hari dengan hanya bermimpi melihat dunia

Berangkatlah.. hidupmu lebih besar dibanding sempitnya kerangkeng pemikiran dan pemahaman

Dengarkan gendering ramai kota-kota besar, Nak..

Atau desa-desa permai dengan penduduk selalu tersenyum walaupun mereka berbeda warna kulit

 

Maka biarkan semua petualangan itu datang

Jangan sedih jika malam-malam terasa lebih panjang

Jangan takut kehabisan bekal

Jangan takut tidak pernah kembali

Biarkan semua mengalir

Kau akan bertemu teman-teman baru

 

Berangkatlah, Nak..

Kau akan tumbuh layaknya seorang petualang

Tidak mengeluh saat hujan turun

Tidak cemas walau semua serba terlambat

Tidak panic meski semua berantakan

Tidak dikendalikan waktu apalagi oleh manusia lain

Kau akan tumbuh semakin kuat

 

Kau akan mengerti banyak hal..

 

Karena sungguh Nak..

Bapakmu tidak bisa menceritakan lebih baik bagaimana rasanya sendirian duduk di sebuah angkutan, sesak oleh penumpang dengan warna kulit berbeda, duduk rapat, sempit saling menempel bahu, suara kotek ayam, tumpukan karung sayur, kardus-kardus, ramai suara mengobrol dengan bahasa antah-berantah, lirikan anak-anak yang ingin tahu..

Dan kau harus mendirikan sholat jama’ di atas mobil itu karena dua waktu sholat hampir habis, kendaraan tak kunjung berhenti.

Kau akan tahu persis sensasinya saat kau sendiri mengalaminya

Dan itu akan memberikan pemahaman baru..

 

Kau akan mengerti banyak hal..

Pergilah melihat dunia

 

(TERE LIYE)

**

 

Ditulis ulang dari kalimat-kalimat indah yang digoreskan di dua lembar kertas kuning berstaples..

Kertas yang entah kenapa terus saya bawa ke mana-mana sebagai penyemangat..

 

Selanjutnya, kejarlah apa yang ingin kamu kejar..

Lakukan apa yang ingin kamu lakukan..

Dan jangan lupa bahagiakan mereka yang sudah seharusnya kamu bahagiakan..

 

Merci beaucoup 🙂

Sepeda, Sabuga dan Sarjana

Suatu hari di kamar kosan. Sebuah tulisan kecil membuatku bergumam.

TARGET : Tugas Akhir Selesai dan Wisuda Sarjana di Waktu yang Tepat

Kalau teman-teman jadi saya, apa yang akan teman-teman lakukan untuk mencapai target tersebut?

Yawda kan ya.. mulailah ambil tu bahan-bahan Tugas Akhir (TA), segera kerjakan apa yang mesti dikerjakan, lakukan analisis dan selesaikan draft, siap-siap sidang daaan.. well done. Selesai. Jadi sarjana dan selamat menikmati prosesi wisuda!

Hmmm…. Simpel juga ya. Kok saya ga bisa begitu kemaren ya..

Hmmm… Gitu yah..

Hmmm…

Hey, kawan. Yang benar saja!!

Langkah-langkah di atas memang step-step menyelesaikan tugas akhir dan mencapai wisuda sarjana,, tapi kalau yang terbayang hanya langkah-langkah ideal seperti itu.. percayalah! (setidaknya ini berdasar pengalaman dari saya) percayalah! Bahkan kita takkan melewati kata pertama pada kalimat itu: “mulailah”

Kenapa begituh?

Oke, ini alasan pertama. Target “Tugas Akhir Selesai”. Mau bagaimana pun prosesnya entah berat atau gampang, berapa lama waktunya, berapa puluh kali harus bimbingan, berapa ratus kali melabil, berapa ribu kali istighfar.. hasilnya sama kok: tugas akhir itu akan selesai. Entah selesai dengan gilang gemilang, selesai karena dikasihani, selesai karena dosbing sudah bosan, selesai karena sudah melewati batas administrasi akademik (guess what..). Hoho. Semua orang sudah sepakat kok kalau tidak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk Tugas Akhir kan ya.. Nah..

Jadi, menuliskan target “Tugas Akhir Selesai” tidak akan memunculkan sense of urgency. Ga akan cukup untuk men-starter lagi tuh pengerjaan TA..

Lalu alasan kedua. Target “Wisuda Sarjana di Waktu yang Tepat”. Di waktu yang tepat itu kapan?? Setiap perguruan tinggi umumnya menyelenggarakan prosesi wisuda 3-4 kali dalam setahun. Kalau belum berhasil di salah satu periode wisuda, ya santai saja bisa mengejar untuk periode berikutnya. Toh kita bakal lulus di waktu yang tepat. Entah kalimat barusan merupakan suatu kalimat bijak atau bentuk menghibur diri. Tapi jelas ada bahaya di situ: kita jadi cenderung terbawa santai. Ya, santai. Masih ada hari esok. Masih ada banyak waktu luang.. Pada akhirnya, kembali lagi kita tidak akan memulai.

Sama juga kesimpulannya, menuliskan target “Wisuda Sarjana di Waktu yang Tepat” belum mampu menumbuhkan sense of urgency..

Sok punya target, punya step, tapi  tak pernah benar-benar memulai. Ironis..

Hmmm.. kembali saya bergumam. Jelas waktu terus berjalan. Dan jelas saat itu ada orang yang sedang menyia-nyiakannya.

Sepertinya saya kembali suntuk dalam mengerjakan TA. Annoying

Saya pun membuka-buka folder secara random. Mencari beberapa file hiburan di laptop yang mungkin dapat menghilangkan kesuntukan barang sejenak. Mungkin game, video clip atau movie..

Tapi yang saya temukan adalah foto itu. Ya, foto itu. Beruntungnya… foto itu…

Sebuah foto yang diambil selepas Lebaran 2012.

Pagi yang cerah. Bersepeda ria.

Sasana Budaya Ganesha *auditorium ITB, tempat penyambutan mahasiswa baru serta acara wisuda sarjana*

Saya, bapak, ibu. Dan kebahagiaan yang terpancar di wajah kedua orang paling kuhormati dan kusayangi di dunia.

**

Ibu..

Bapak..

Sabuga…

Sarjana…

Seketika semua itu berkelebat hebat di pikiran saya. Membuat niat awal untuk bersantai menjadi ter-disorientasi.

Tikus hitam (baca: mouse laptop) di genggaman saya elus sedemikian rupa sehingga memenuhi command zoom in. Maka senyum itu terlihat semakin jelas.

Senyum Ibu. Senyum Bapak. Dua hal yang tak ternilai di dunia ini.

Zoom in lagi. Sasana Budaya Ganesha. Tempat itu. Kenapa hari itu saya hanya bisa ke sana untuk bersantai? Oh tidak. Tempat itu bukan tempat untuk sekedar bersantai. Tempat itu adalah Logue Town, tempat awal dan akhir. Wisuda!

Bisa ke sana dengan santainya naek sepeda? Enak sekali.. Tempat itu bukan tempat untuk sekedar bersantai. Ya, saya sadar satu hal. Ke Sabuga berikutnya, simpul senyum orang tua saya bukan karena sedang santai, tapi sedang bangga. Kalaupun harus bekerja keras layaknya mengayuh sepeda melewati tanjakan Sabuga, itu akan kulakukan!

Sejenak saya merasa tertampar melihat foto itu.

Tapi setelahnya.. sense of urgency itu muncul.. datang dan terus bangkit secara eksponensial.

Harus KERJA KERAS layaknya mengayuh sepeda di tanjakan?

Harus menciptakan SENYUM ORANG TUA?

Harus sesegera mungkin meraih gelar SARJANA?

Mengapa tidak??

Saya, bapak, ibu. Dan kebahagiaan yang terpancar di wajah kedua orang paling kuhormati dan kusayangi di dunia.

**

Foto itupun terus menjadi penyemangat saya , pemerjelas target dan langkah-langkah, pendorong untuk terus berkerja keras jangan menyerah..

And finally… terima kasih banyak untuk support teman-teman juga..

Alhamdulillah..

Ibu.. Bapak.. 20 Oktober nanti kita kembali tersenyum di Sabuga 🙂

Visualize Our Dream!

Setiap orang berhak bermimpi. Dan setiap orang punya potensi besar untuk mewujudkan impiannya masing-masing.

Kita harus sepakat pada kalimat di atas. Ya, HARUS. Maka berkumpullah dengan orang-orang dekatmu, ceritakanlah impianmu dan dengarkan pulalah apa impian mereka. Jikalau engkau mendapati impian teman-temanmu berasa terlalu wah atau absurd, janganlah pernah sekalipun menertawakannya, merendahkan seakan yang diutarakan itu mustahil terjadi, dan membuat pesimis. Alih-alih begitu, mending beri mereka semangat dan bantuan sebisa kita, karena boleh jadi mereka jualah key player yang secara tidak langsung diamanahkan Allah SWT untuk membantu mewujudkan impian-impian kita. Pokoknya bersyukurlah kalau kita punya teman-teman yang punya impian besar.

Setelah itu, kembalilah pada mimpimu sendiri. Mimpi kita masing-masing. Sudah seberapa besar kita bermimpi? Setelah itu, apa yang sudah kita sibukkan untuk impian kita itu: sudah sibuk berusaha agar terwujud.. atau..  well, the absurd one,, kita justru menertawakan, merendahkan impian kita sendiri. Alih-alih memupuk harapan, justru rasa pesimis yang kita pelihara. “Rasanya koq ga mungkin ya kalo gini..”, “Mana bisa ane masih cupu gini..” bla..bla..bla..

Kenapa sih semangat kita dalam meraih mimpi bisa sebegitu down?

First, jelas karena kita kurang TINDAKAN. Terlalu banyak wasting time tapi kita baru nyadar.. seakan semua sudah serba terlambat.

Second, kita seringkali kurang VISUALISASI. Ketidakmampuan menggambarkan impian secara spesifik membuat impian itu mengawang-awang, terkesan tidak realistis dan makin absurd saja. Karena itu, di banyak buku motivasi kita disuruh menggambarkan apa sih yang sebenarnya kita inginkan, sedetail mungkin. Lalu menuliskan atau menggambarkannya di tempat yang sering kita lihat.. well motivated deh.

Gimana langkah detailnya? Duh. Saya juga baru belajar membuat visualisasi target-target saya agar makin jelas. Masih belajar. Tapi tak salahnya kan mengajak.. Yuk sama-sama…

Let’s visualize our dream!!