Jejak Umroh: Safari di Tanah Saudi

Pagi hari yang tenang. Bus yang saya tumpangi mulai meninggalkan Kota Nenek. Sebelum masuk kembali ke dalam bus, sempat saya rasakan hangatnya sinar mentari yang tersenyum di atas Laut Merah.

Ya, hangat. Tidak superterik sebagaimana bayangan kekhawatiran saya tentang tanah Saudi ini. Bagaimana tidak, ini tanah yang dinamai Arab, artinya “gurun yang kosong”. Tanah yang saking keringnya, ga ada sungai (beuh.. padahal di sini sungai airnya sampai bersisa, para penduduk kalang kabut tiap hujan turun sebentar saja), apalagi danau alami (yakali, emang Jakarta atau Bandung, produsen “waduk-waduk” baru tiap hujan deras datang). Tanah yang walau benderanya hijau, tapi jumlah pohonnya sangat minim. Ga ada ijo-ijonya. Sepanjang jalan adalah coklat pasir dan bebatuan, ngarep apa menemui pepohonan layaknya di negara yang konon zamrud katulistiwa.

DSC_0674

Deskripsi yang cukup membuat saya kurang puas kalau panasnya cuma sehangat kota Solo. Mana ini matahari megah yang teriknya ‘menyedot’ sumber-sumber air di tanah ini. Selayang pandang ke langit biru saat sang mentari membungkamku,

“Halah si cemen.. bersyukur dulu sana. beraninya naek bus ber-AC. Coba kalau mau naek yang ga ber-AC, atau kalau berani sono naek unta barang seratus dua ratus meter..” Baca Selengkapnya

Jejak Umroh: Jeddah, Dalam Pelukan Nenek

Nenek. Oma. Simbah. Eyang Putri.

Begitulah beberapa versi panggilan untuk Ibunya orang tua kita. Ada apakah dengan nenek? Hmm.. Jangan lanjutkan membaca dulu. Stop sejenak. Dan mari sama-sama membiarkan nama tersebut terdengar dan mulai merasuki pikiran. Sudah? Apa yang terpikir?

Saya menebaknya dengan cukup yakin bahwa hanya akan ada 2 hal melankoli yang akan muncul: memori masa kecil kita nan indah, serta kesedihan karena nenek sudah sedemikian tua (atau mungkin, telah tiada). Bicara masa kecil nih ye, ingat-ingat deh, siapa “pahlawan kebanggaan” kita? Cukup dimaklumi jika jawabannya adalah Satria Baja Hitam, Ultraman, atau Songoku (terutama bagi generasi 90an seperti saya). Tapi usut punya usut, pahlawan paling konkret.. paling konkret.. di masa kecil kita adalah.. ya, jika kita mengalami masa kecil yang mainstream.. benar sekali, nenek.

Merasa uang saku buat ga cukup buat beli Cheetos dan mainan karena salary cap dari ortu? Minta nenek!

Ngambek karena dimarahi ortu? Dihibur nenek! (dan ssstt.. malah ortu kita yang ditegur.. hihi)

Laper habis pulang sekolah? Dimasakin nenek! (lezaat.. pengalaman masak puluhan tahun sih..)

Begitulah balada nenek dengan segala kemurahan hatinya. Sang pahlawan masa kecil kita. Terkadang, rindu itu datang. Teringin masa lalu itu terulang. Ketentraman dalam pelukan nenek.

**

DSC_0661

Jeddah, 22 Mei 2013

Pemeriksaan imigrasi baru saja saya lalui ketika jam bandara menunjuk jam 03.40 waktu setempat. Masih sangat pagi. Begitulah enaknya perjalanan panjang yang “memotong waktu”, berasa lebih cepat. Jam 8 malam baru take off dari Jakarta, jam 3-an sudah landing di sini, di tempat yang berjarak sekurangnya perlu waktu tempuh 9 jam. Hemat 2 jam bukan?

Karena terbilang masih dini hari, suasana bandara cukup lengang. Antrian pemeriksaan paspor tidak panjang, sehingga paspor saya pun segera dapat stempel baru. Sayangnya, lolos dengan cepat bukan berarti dapat melengang dengan cepat juga. Karena tidak sampai 1 jam kemudian, paspor saya… disita dan ditahan. Baca Selengkapnya

One Day Bogor trip (4) : Kuliner Pangrango

Kota Bogor tak salah lagi identik dengan julukan kota hujan. Walaupun bukan daerah dengan intensitas hujan tertinggi di tanah air kita tercinta (tertinggi di Baturaden, Jawa Tengah) tapi ya saya setuju aja sih kalau predikat kita disematkan ke Bogor, bukan Baturaden. Sangat setuju. Loh, Why? Oke biar lebih menarik halah basa basi, saya pasang 3 alasan berikut:

Pertama, Baturaden itu merupakan “tempat wisata” bukan “kota” sebagaimana Bogor. Jadi kurang pas disebut “kota hujan”, bolehnya “tempat wisata hujan”. Karena sebutan terakhir juga ga enak didengar (terkesan wisata yang ditawarkan itu hujan-hujanan.. hehe) maka biarlah Baturaden dikenal sebagai objek wisata saja, “kota hujan” kita persembahkan untuk Bogor. Lanjut ke alasan kedua, sebagai penduduk Jakarta, setiap bencana alam paling akrab dengan ibukota (baca: banjir) terjadi, pasti nama kota Bogor tak kalah terasa gaungnya. “Lha wong di sini ga hujan kok bisa banjir, pasti Bogor hujan!”, “banjirnya ga pernah sebesar ini, pasti Jakarta dan Bogor sama-sama hujan!”. Nah kan, Bogor dengan hujannya itu populer banget di pusat negara, dikambinghitamkan walau sebenarnya ya salah orang Jakarta sendiri kalau daerahnya kena banjir (ya minim daerah resapan air lah, ya buang sampah sembarangan lah, ya ikut ngerusak lahan hijau Bogor buat bangun villa lah, banyak deh).

Sedangkan alasan ketiga, kali ini bersifat pribadi. Entah ya, kagak tau kenapa, walau jarang-jarang ke Bogor, tiap saya ke sana.. pasti hujan!! Di kunjungan sebelumnya, saya lebih banyak nebeng mobil jadi it’s okay lah mau hujan sederes apapun. Tapi karena saat dolan kali ini saya berjalan kaki, boleh donk ya sedikit berharap tidak turun hujan. Kali iniiii saja plisplisplis… Terkabulkah? Ngarev avaa.. Waktu baru sebentar berganti dari AM ke PM saat sang langit menaburkan titik-titik cintanya pada bumi. Hujan turun dengan deras. Haha.. well, this is Bogor.. Sang Kota Hujan 🙂

++

Sudah setujukah teman-teman kalau berlibur ke Bogor itu harus banget menikmati hujannya?

Kalau sudah, saya mau merekomendasikan tempat berteduh dengan suasana paling menyenangkan di sana nih. Tempat berteduh itu tak lain tak bukan adalah tempat-tempat kuliner di Jalan Pangrango!

Bukan rahasia lagi kalau Jalan Pangrango di Kota Bogor penuh dengan tempat wisata kuliner dengan kelezatan level wahid. Bagaimana tidak, Baca Selengkapnya