Pagi hari yang tenang. Bus yang saya tumpangi mulai meninggalkan Kota Nenek. Sebelum masuk kembali ke dalam bus, sempat saya rasakan hangatnya sinar mentari yang tersenyum di atas Laut Merah.
Ya, hangat. Tidak superterik sebagaimana bayangan kekhawatiran saya tentang tanah Saudi ini. Bagaimana tidak, ini tanah yang dinamai Arab, artinya “gurun yang kosong”. Tanah yang saking keringnya, ga ada sungai (beuh.. padahal di sini sungai airnya sampai bersisa, para penduduk kalang kabut tiap hujan turun sebentar saja), apalagi danau alami (yakali, emang Jakarta atau Bandung, produsen “waduk-waduk” baru tiap hujan deras datang). Tanah yang walau benderanya hijau, tapi jumlah pohonnya sangat minim. Ga ada ijo-ijonya. Sepanjang jalan adalah coklat pasir dan bebatuan, ngarep apa menemui pepohonan layaknya di negara yang konon zamrud katulistiwa.
Deskripsi yang cukup membuat saya kurang puas kalau panasnya cuma sehangat kota Solo. Mana ini matahari megah yang teriknya ‘menyedot’ sumber-sumber air di tanah ini. Selayang pandang ke langit biru saat sang mentari membungkamku,
“Halah si cemen.. bersyukur dulu sana. beraninya naek bus ber-AC. Coba kalau mau naek yang ga ber-AC, atau kalau berani sono naek unta barang seratus dua ratus meter..” Baca Selengkapnya