Mobil

Weekend ini saya mendapati fakta perkembangan anak saya yang membuat saya kadang pengen ini anak jangan cepet-cepet gedenya. Fakta itu tak lain bahwa si bocah sudah paham prosedur menyalakan mobil. Masukkan kunci, nyalain mesin, brum.. brum.. pake sabuknya, spion dibuka, terus jalan mundur keluar garasi. Bahkan dia bisa memperagakan perintah “belok kanan” dan “belok kiri”! Ya Allah, he’s too cute to understand that…

Di usia yang masih di bawah tiga, anak saya sudah menyerap sedikit pengetahuan tentang mobil. Kalau kakinya udah nyampe, jangan-jangan nanti di usia SD udah bisa nyetir. Harus direm-rem dulu ya. Sebaliknya di satu sisi, saya cukup bersyukur karena saya aja dulu baru tahu jaman SMP, itu pun baru mau dan bisa nyetir setelah kuliah.

Mau dilihat dari sisi positif atau negatif, adanya mobil di saat anak usia belia membuat adanya sedikit privilege. Apa itu privilege? Tak lain manfaat spesial yang tidak banyak orang memiliki kesempatan yang sama.

Sebenarnya privilege ini sendiri bisa dilihat dari faktor lingkungan dan historis juga sih. Di lingkungan rumah kami, bisa jadi naik mobil dari bayi bukanlah privilege khusus, karena hampir semua sudah punya mobil. Di lain sisi, jika dibanding jaman saya kecil dulu, atau di lingkungan kampung halaman saya, merasakan di mobil dari bayi merupakan privilege (umumnya, pas bayi merasakan digendong di sepeda motor dulu).

Dilihat dari historis, ketika saya dulu belum menikmati mobil saat balita, jika dilihat di masa sekarang seolah-olah tidak berada pada zona privilege. Tapi di waktu itu, dengan sepeda motor pun bisa jadi merupakan privilege, karena orang tua saya zaman kecilnya lebih sederhana lagi, transportnya hanya ada sepeda tua. Dan saya sangat bersyukur orang tua saya pekerja keras yang memungkinkan saya sedikit banyak juga punya privilege.

Jadi, semakin kita banyak mengembara, merasakan banyak lingkungan dan masyarakat, kita akan merasakan banyak singgungan terkait privilege, baik merasa punya privilege, ngedumel karena merasa orang lain punya privilege sedangkan kita tidak, maupun sudah bisa ikhlas bahwa kita memiliki privilege yang sangat relatif, dan tergantung kita sendiri bagaimana memandangnya.

Sebenarnya, fair kah punya privilege?

Menurut saya sih, ga ada salahnya ya. Orang tua yang bekerja keras juga efek positifnya jadi tercipta privilege-privilege kecil untuk anak. Segetir-getirnya rasa sakit saat bekerja keras yang dialami (yang sebenarnya membentuk mental tangguh juga), orang tua punya soft spot tidak rela anaknya mengalami hal yang sama. Ini yang mesti dikontrol: punya privilege, tapi tetap punya mental tangguh juga untuk bekerja keras.

Ini yang saya cukup kepikiran, bisa ga ya saya menghadapi tantangan zaman ini untuk mengarahkan anak dalam koridor yang baik?

Bersama bahasan privilege, saya juga jadi bersyukur dan sangat berterima kasih pada orang tua saya, karena apapun privilege yang tercipta, orang saya selalu mencontohkan kerja keras. Karena privilege bisa jadi memang berpengaruh pada kesuksesan, tapi kerja keraslah yang berlaku universal untuk semua orang yang ingin sukses.

Privilege matters, but continuous efforts are better.

Bekasi, 25 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kelimabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Puasa Standar

Lahir dan besar di Indonesia, tentunya hampir seluruh Ramadhan saya dihabiskan di tanah air tercinta ini. Dalam kurun waktu hidup saya sampai umur 30 ini, praktis hanya dua kali puasa Ramadhan saya berada di luar zamrud khatulistiwa. Tepatnya saat S2 di Belanda tahun 2015-2016 yang lalu.

Dengan mayoritas waktu berada di Indonesia, tentunya saya sudah menganggap puasa dengan waktu Indonesia (baca: WIB) sebagai waktu puasa standar. Subuh ya sekitar jam 4, Maghrib menjelang jam 18. Sekitar 13,5 jam puasa defaultnya. Semua waktu sholat pun seperti sudah jadi waktu baku, dengan pergantian tahun ataupun domisili cuma berpengaruh sedikit saja.

Waktu puasa standar seperti di Indonesia, yang sangat stabil durasinya ini, hanya dialami di negara-negara yang berada di “tengah” lintang bumi, atau di zona khatulistiwa. Sedang di negara yang sedang mengalami musim panas, durasinya bisa sangat panjang, mencapai 20 jam (Norwegia, Islandia, dan negara-negara di pucuk utara – 2021 ini musim panas pas Ramadhan). Sebaliknya, di negara yang sedang musim dingin, durasinya sesingkat 11 jam (Selandia Baru, Afrika Selatan, dan negara-negara di pucuk selatan lainnya). Menarik ya dunia ini. Dan bolehkah pas Ramadhan ini kita traveling aja ke negara selatan yang puasanya sedang singkat? Ya boleh-boleh saja sih, asal punya uang (baca: muahal) dan bebas corona. Hehe..

Kalau memilih ke puasa yang lebih singkat terdengar menarik, bagaimana kalau puasa di musim panas (dengan durasi yang jauh lebih lama). Asik ga ya?

Pengalaman saya 2 tahun di negeri utara yang sedang musim panas saat Ramadhan, ternyata asik juga! Hmm.. bukan asik sih frase yang tepat. Tapi “unik dan menarik“, mengembalikan memori pas Ramadhan dulu membuat saya senyum-senyum sendiri.

Puasa 19 jam. Tak kurang dari 5,5 jam lebih lama dibanding kebiasaan. Di musim panas pula.

Oya, untuk perbandingan singkatnya, berikut waktu sholat di Bekasi hari ini (April 2021),

FajrSunriseDhuhrAsrMaghribIsha
04.3805.5411.5615.1417.5519.04

kita bandingkan dengan saat di Leiden Belanda (Juli 2015) lalu:

FajrSunriseDhuhrAsrMaghribIsha
03.1005.2413.4618.1022.0700.09

Kalau disuguhin tabel waktu sholat pas puasa, tentu yang jadi acuan pertama waktu Maghrib nya dong. Hehehe. Di Leiden kala itu, Maghribnya jam 22.07. Normalnya di Indonesia, tarawih berapa rekaat pun sudah selesai, kita sudah mapan di kasur. Jika di balik perspektifnya, jam 17.55 waktu buka di Indonesia, ternyata secara Belanda, Asar pun belum di jam segitu. Orang-orang sudah balik kerja ataupun dari kampus, semuanya sebelum Asar! Lucunya, spare 4 jam antara Asar dan Maghrib membuat kita mau “tidur sore” pun (yang saya jamin maksimal cuma bisa 2 jam), bangun-bangun masih jauh dari Maghrib.

Lanjut, acuan berikutnya untuk puasa, waktu Fajr. Jarak Isya dan Subuh di Indonesia sangatlah panjang dan ideal untuk tidur malam. Katakanlah 20.30 kelar tarawih, masih ada waktu 7 jam lebih untuk istirahat sebelum bangun sahur. Di Leiden? Boro-boro, ga ikut tarawih saja, pulang dari masjid pun sudah jam 00.30, tinggal 2,5 jam sebelum Imsak tiba. Kebanyakan mahasiswa muslim jadi stay ga tidur dulu sampai subuh karena waktu yang mepet ini. Fatal bro kalau ga sahur untuk puasa 19 jam. Hehe…

Dilihat dari jamnya, sepertinya timpaang gitu ya… dan terasa lebih mengenaskan. Ada beberapa yang menyarankan mengikuti jadwal imsakiyah Saudi saja, walau kok ya aneh kalau buka puasa pas suasananya belum Maghrib.

Tapi subhanallah. Ternyata Allah memang tidak pernah membebankan di luar kemampuan kita. Puasa 19 jam ketika dilalui, rasanya kayak 1 jam lebih lama saja dari “puasa standar” Indonesia.

Dan dari puasa yang lebih lama itu, saat buka puasa… rasanyaa…. slurrppp

Nikmat. Subhanallah.

Baik puasa dalam waktu standar maupun tidak standar, sebenarnya ujian dan kadar kebarokahannya tetap tergantung niat dan amalan kita. Semoga kita senantiasa jadi orang yang lebih baik. Amiin.

Bekasi, 15 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan keempatbelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan.

Ramadhan tiba. Ramadhan tiba. Tiba-tiba Ramadhan. Tiba-tiba Ramadhan.

Alhamdulillah.. karena Ramadhan ternyata sudah tiba lagi ya, bulan yang penuh berkah dan kemuliaan.

Astaghfirullah.. karena Ramadhan ternyata sudah tiba lagi di saat kondisi pandemi masih sama, belum ada tanda nyata kalau efeknya sudah mereda.

Ya, mungkin begitu pula kita mesti mentadaburi hidup. Dalam setiap hal positif dan negatif. Dalam tiap kabar gembira maupun peringatan. Membersamai suka yang selalu terselip duka, pun duka yang selalu membawa pada hal yang disuka.

Momen pandemi membuat Ramadhan kali ini tetap mesti ditunda dulu untuk ketemu orang tua, padahal baru kangen-kangennya. Untuk sholat jamaah di masjid, kali ini sudah mulai dibuka walaupun jarak masih harus renggang-renggang demi protokol kesehatan.

Apapun mesti kita syukuri ya.

Dan bersama datangnya bulan Ramadhan pula, saya ingin menghaturkan maaf kepada rekan-rekan semua apabila banyak khilaf selama ini.

Bismillah semoga keberkahan dan ketaqwaan membersamai kita semua. Amiin.

Bekasi, 12 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan ketigabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Peta Digital

Dua minggu ini saya mesti menempuh perjalanan dinas ke dua kota yang berbeda. Seperti biasa ketika merencanakan perjalanan, saya selalu mengandalkan Google Maps, aplikasi peta digital paling populer yang tentunya kita semua sering pakai. Memang Google Maps ini sangat revolusioner ya, memberi kita informasi trafik secara real time sehingga bisa merencanakan perjalanan dan memperkirakan waktu tempuh dengan jauh lebih baik.

Menariknya, dari dua perjalanan itu saya kembali disadarkan bahwa teknologi ya tetap teknologi, sesuatu yang dibuat untuk memudahkan manusia. Selebihnya tetaplah intuisi kita yang utama.

Pertama, perjalanan dari Solo ke Semarang, melewati salah satu tol yang konon paling indah di Indonesia (karena kelokan di lembah dan view gunung Merapi dan Merbabunya, maybe). Isunya di sini adalah telah berlakunya tilang elektronik di Indonesia, termasuk tilang untuk kecepatan yang melebihi batas. Entah implementasinya bener sudah jalan atau belum, yang jelas fitur “speed camera alert” di Google Maps jadi sangat berguna. Dengan fitur tsb, ada notif agar kita awas saat melewati titik yang ada kamera CCTV kecepatan.

Masalahnya, fitur speed alert itu sangat bergantung input pengguna. Kalau total ada 5 CCTV kecepatan, sedangkan baru 2 titik yang diketahui pengguna, bisa jadi kita tetap kena di 3 titik. Problem lainnya, kita jadi mengontrol kecepatan di titik CCTV saja, selebihnya los dol.. ya iya kan, kita disiplin pas dilihatin aja? Ahaha.. Lucunya, dengan bantuan teknologi dan kedisiplinan pun, kita belum tentu bisa mengontrol kecepatan di bawah batas untuk case tol Solo-Semarang. Jalan tol, dengan jalur yang naik turun yang lumayan tajam plus minim kendaraan (ga kayak Jakarta atau Cipularang), selamat mencoba untuk mengontrol kecepatan di bawah batas.. 😀

Kedua, perjalanan dari Bekasi ke Bandung. Kali ini terkait info Google Maps kalau ada delay perjalanan karena pembangunan jalan. Estimasinya, delay 25 menit. Bagi saya yang berdomisili di Bekasi, saya punya 2 opsi: pertama lewat jalur bawah (jalur default) dengan ikhlas menerima terhambat 25 menit itu. Opsi kedua, melaju ke arah Jakarta dulu, putar balik di Jatiwaringin, lalu masuk tol lagi dan lewat tol layang. Jika dibandingkan dengan asumsi delaynya benar hanya 25 menit, maka opsi pertama lebih cepat.

Nah masalahnya, Google Maps mendapat input berdasar smartphone (jumlah trafik pengguna di tempat yang sama dan rata-rata kecepatan), tanpa mempertimbangkan ukuran kendaraan. Saat peta digital ini mengestimasi, banyaknya truk kontainer dan bus malam seolah terabaikan. Delay 25 menit kenyataannya bisa 45 menit atau lebih. Tentunya susah untuk selap selip di antara truk kontainer & bus malam Indonesia yang nyetirnya ngasal. Jadi, memang intuisi dan common knowledge tetap yang utama sekalipun sudah terbantu dengan teknologi. Itu yang tidak saya gunakan di perjalanan kedua ini dan dengan lancarnya terjebak dalam trafik lautan truk. Capek deeh 😀

Lain kali, kalau Google Maps bilang ada delay 25 menit atau lebih di jalanan Jakarta, Bandung dan sekitarnya, consider pilih rute lain. Sepertinya aplikasi global ini kurang tepat mengidentifikasi realita jalanan Indonesia yang sadis.

Dan apapun yang teknologi berikan, mengasah intuisi dan pengetahuan umum tetap nomor satu. Demikian.

Bandung, 7 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan keduabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Sepeda

Satu lagi momen nostalgik yang saya alami minggu ini: naik sepeda. Selain kereta yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya juga termasuk sering naik sepeda.

Saat SD sampai lulus SMP, saya berangkat sekolah naik sepeda. Bersepeda ke sekolah pun berlanjut full saat S2, karena di Belanda tanpa bersepeda apa gunanya.. hehe..

Nah, kemarin secara kebetulan saya diajak untuk mengingatkan lagi asyiknya bersepeda. Saat di Semarang, rekan saya mengajak bersepeda pagi-pagi (ditraktir sewa sepedanya pula, matur nuwun sanget!), berkeliling kota Semarang bawah yang ga kalah flat-nya sama Belanda. Tak kurang dari 15 km jarak ditempuh dalam 1 jam-an perjalanan, melewati area well known seperti Simpang Lima, Lawang Sewu, Kota Lama, RS Kariadi, Sam Poo Kong. Sebenarnya mau ke arah pantai juga tapi diurungkan niat karena awan mendung makin menghitam. Ya di satu sisi jadi kurang lama sepedaanya, di satu sisi juga menyenangkan bersepeda di bawah suasana mendung karena Semarang jadi sejuk, tidak panas seperti biasanya (pas normal, panasnya Semarang bisa ngalahin Jakarta!)

Ini beberapa foto saat sepedaan pagi di Semarang kemarin:

Oh ya, kebetulannya lagi, sahabat saya yang sekarang masi di Belanda, di hari yang sama tanya-tanya pengalaman dulu bersepeda dari Leiden ke Keukenhof. Keukenhof ini adalah salah satu taman bunga paling indah di planet bumi, yang mekar di bulan semi (sekitar bulan ini di Belanda). Waha, so nostalgic! Emang lumayan banyak yang suka sepedaan ke arah Keukenhof saking indahnya. Saya sendiri sempet kalau ga salah 4x menempuh jarak 30 km PP dari Leiden ke Keukenhof. Nah, sahabat saya ini mau nyobain rute yang sama, atau paling engga pengen tahu ancer-ancernya.

Setelah beliaunya jadi sepedaan, saya dikirimi foto pemandangan yang sangat memorable bagi saya, yang ngingetinnya aja sampai mau menitikkan air mata (haha.. berasa lebay ya). Berikut fotonya:

Momen-momen bersepeda minggu ini sungguh mengingatkan lagi bahwa hidup pernah seindah ini.

Dan bismillah semoga ke depan tak kalah indahnya.

Bekasi, 4 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kesebelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Kereta

Minggu ini saya naik kereta lagi, setelah sekian lama. Pandemi oh pandemi ya. Padahal kereta ini adalah moda transportasi yang paling sering saya naiki, terutama untuk perkara mudik.

Saat kuliah dulu, saya hampir selalu mudik dengan kereta. Saat sudah bekerja pun, naik kereta tetap jadi pilihan. Pun kala harus PP jelang lahiran anak selama sekitar 4 bulan, selalu juga naik kereta. Pokoknya anker (anak kereta) banget lah saya.. hehe..

Kenapa ya kereta jadi transportasi favorit buat saya bahkan saat harga pesawat sekarang sudah cukup terjangkau?

Mungkin karena jam berangkatnya bisa malem banget jadi bisa santai dulu sorenya, dan tinggal tidur saat di dalam kereta. Bisa jadi juga karena waktu tempuh ke stasiun relatif lebih pendek dibanding ke bandara, plus check in nya ga ribet. Kadang pula obrolan random di dalam kereta, baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas, cukup seru dan insightful (saya hampir tidak pernah ngobrol dengan orang random di pesawat karena durasinya terlalu singkat).

Tapi semenjak pandemi, tentu banyak hal termasuk mudik jadi mesti ditunda dulu. Perjalanan berkereta pun harus dikesampingkan untuk beberapa waktu. Dan setelah hampir setahun tidak berkereta, cukup banyak yang sudah berubah ya, terutama menyesuaikan kondisi pandemi. Sebelum berangkat mesti tes antigen/genose, saat berangkat diberi face shield, bangku sebelah jadi kosong, dan availability jadwal kereta juga dibatasi.

Menariknya, dari mudik kemarin saya jadi sadar ada satu hal yang konstan.

Satu hal yang selalu membuncahkan perasaan dan salah satu hal paling indah dalam mudik.

Apa itu?

Tak lain saat ku berjalan di pintu keluar, disambut senyum ibu & bapak yang datang menjemput.

How beautiful. Subhanallah.

Bekasi, 3 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kesepuluh untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.