Saat menjelang sekolah S2 dulu, saya mengikuti acara persiapan keberangkatan di mana kerap digaungkan mengenai Indonesia Emas 2045. Di tahun tersebut, Indonesia berada pada milestone seabad sejak kemerdekaan. Di tahun itu pula diproyeksikan bahwa Indonesia akan berada pada kondisi “bonus demografi”, di mana mayoritas penduduknya berada pada usia produktif. Dengan banyaknya usia produktif, diharapkan banyak karya yang bisa terbangun. Konon, di abad 20 kemarin saat Jepang dan Korea mengalami bonus demografi, mereka bisa menjadi negara maju dengan segudang produk handal.
Tentunya sebagai warga negara yang cinta tanah air, kita antusias mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk era tersebut. Tetapi kita juga mesti menyadari adanya paradoks, bahwa di era yang semakin modern, bisa jadi bonus demografi justru menjadi ancaman.
Apa itu ancamannya?
Berbeda dengan kondisi Jepang dulu, di mana kebutuhan manusia untuk industri memang sedang banyak-banyaknya, 25 tahun dari sekarang, justru trennya mengarah ke makin banyak manusia yang akan tergantikan oleh robot dan sensor.
Memang di Indonesia, artificial intelligence belum masif. Tapi sudah banyak hal di kehidupan sehari-hari kita yang tergantikan oleh hadirnya teknologi. E-money untuk tol, check-in machine di bandara, boomingnya online shopping, dan beragam tren lain yang mengindikasikan lapangan kerja justru akan semakin terlimitasi. Ya, kita bisa jadi, akan sangat tergantikan.
Jadi, kita mesti optimis atau pesimis terhadap paradoks Indonesia Emas ini?
Kalau menurut saya, yang paling penting kita sadari adalah, kita memang tergantikan.
Loh kok gitu? Ya, bagaimana tidak, pertama kita adalah makhluk bernyawa. Dan makhluk bernyawa itu cepat atau lambat pasti habis masanya. Steve Jobs, sang pendiri Apple yang disebut-sebut sebagai salah satu manusia paling inovatif dengan penemuan hebat pun, dengan lantang menyebut bahwa “penemuan” terhebat yang ada di dunia adalah.. konsep kematian. Wow.. bisa gitu ya?
Ya, menurut beliau, pasti mati dan pasti tergantikan, telah membantunya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup. Rasa takut gagal, rasa takut dikecewakan, khawatir dikhianati, bisa sirna saat mindset yang tertanam adalah kita bagaimanapun tergantikan. Yang bisa kita lakukan adalah membuat usaha terbaik dan pilihan yang baik sehingga penerus kita bisa maju.
Rasa tidak tergantikan justru bisa menghambat silaturahmi, keinginan bermitra, sharing ilmu, dan hal-hal baik lain. Jika mindset ini berlanjut lebih jauh, akan lebih parah lagi di mana justru harapan kita digantungkan pada hal yang melenceng, sedang harapan mestinya ditaruh lekat-lekat ke satu-satunya Yang Tidak Tergantikan, Allah SWT. Dan di Islam, sekalipun kita tergantikan dalam hal pekerjaan, ada yang tidak tergantikan dalam hal amalan: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.

Jadi, sudahkah kita menyiapkan amalan tidak tergantikan untuk diri kita yang tergantikan ini?
Bekasi, 24 Maret 2021
Note: Ditulis sebagai tulisan kelima untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.