Tergantikan

Saat menjelang sekolah S2 dulu, saya mengikuti acara persiapan keberangkatan di mana kerap digaungkan mengenai Indonesia Emas 2045. Di tahun tersebut, Indonesia berada pada milestone seabad sejak kemerdekaan. Di tahun itu pula diproyeksikan bahwa Indonesia akan berada pada kondisi “bonus demografi”, di mana mayoritas penduduknya berada pada usia produktif. Dengan banyaknya usia produktif, diharapkan banyak karya yang bisa terbangun. Konon, di abad 20 kemarin saat Jepang dan Korea mengalami bonus demografi, mereka bisa menjadi negara maju dengan segudang produk handal.

Tentunya sebagai warga negara yang cinta tanah air, kita antusias mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk era tersebut. Tetapi kita juga mesti menyadari adanya paradoks, bahwa di era yang semakin modern, bisa jadi bonus demografi justru menjadi ancaman.

Apa itu ancamannya?

Berbeda dengan kondisi Jepang dulu, di mana kebutuhan manusia untuk industri memang sedang banyak-banyaknya, 25 tahun dari sekarang, justru trennya mengarah ke makin banyak manusia yang akan tergantikan oleh robot dan sensor.

Memang di Indonesia, artificial intelligence belum masif. Tapi sudah banyak hal di kehidupan sehari-hari kita yang tergantikan oleh hadirnya teknologi. E-money untuk tol, check-in machine di bandara, boomingnya online shopping, dan beragam tren lain yang mengindikasikan lapangan kerja justru akan semakin terlimitasi. Ya, kita bisa jadi, akan sangat tergantikan.

Jadi, kita mesti optimis atau pesimis terhadap paradoks Indonesia Emas ini?

Kalau menurut saya, yang paling penting kita sadari adalah, kita memang tergantikan.

Loh kok gitu? Ya, bagaimana tidak, pertama kita adalah makhluk bernyawa. Dan makhluk bernyawa itu cepat atau lambat pasti habis masanya. Steve Jobs, sang pendiri Apple yang disebut-sebut sebagai salah satu manusia paling inovatif dengan penemuan hebat pun, dengan lantang menyebut bahwa “penemuan” terhebat yang ada di dunia adalah.. konsep kematian. Wow.. bisa gitu ya?

Ya, menurut beliau, pasti mati dan pasti tergantikan, telah membantunya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup. Rasa takut gagal, rasa takut dikecewakan, khawatir dikhianati, bisa sirna saat mindset yang tertanam adalah kita bagaimanapun tergantikan. Yang bisa kita lakukan adalah membuat usaha terbaik dan pilihan yang baik sehingga penerus kita bisa maju.

Rasa tidak tergantikan justru bisa menghambat silaturahmi, keinginan bermitra, sharing ilmu, dan hal-hal baik lain. Jika mindset ini berlanjut lebih jauh, akan lebih parah lagi di mana justru harapan kita digantungkan pada hal yang melenceng, sedang harapan mestinya ditaruh lekat-lekat ke satu-satunya Yang Tidak Tergantikan, Allah SWT. Dan di Islam, sekalipun kita tergantikan dalam hal pekerjaan, ada yang tidak tergantikan dalam hal amalan: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.

Jadi, sudahkah kita menyiapkan amalan tidak tergantikan untuk diri kita yang tergantikan ini?

Bekasi, 24 Maret 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kelima untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Jam Tidur

Jaman kecil dulu, jam tidur saya bisa dibilang sangat teratur. Tidak pernah tidur lewat dari jam 22, dan uniknya selalu terbangun tepat 5 jam setelah terlelap. Perkara setelah terbangun itu kembali tidur lagi, ya lain cerita. Hehe. Yang jelas, ketika saya pengen nonton bola yang mulai kick-off nya jam 2 pagi, saya tinggal tidur jam 21. Bangun tepat, tanpa perlu alarm.

Walaupun punya ritme seteratur itu, tetap saja saya spare plan B biar tetep bisa nonton bola. Apa itu? Minta dibangunin orang tua untuk sholat lail. Jadi pengalaman saya belajar sholat lail memang bukan perkara akhirat, tapi duniawi demi nonton bola, hehehe…

Bangun dini hari itu katanya membuat pikiran lebih fresh dan bisa lebih banyak mencerna ilmu. Saya kurang setuju dengan premis ini, karena tiap orang punya dan perlu mengenali jam efektifnya masing-masing. Untuk saya jaman sekolah dulu, jam bada isya sampai jam 9 masih yang paling oke. Untuk orang lain, bisa beda tentunya. Bisa di pagi, siang, malam tergantung karakter masing-masing.

Tapi nih ya.. funnily enough.. jam fajar (katakanlah setengah jam sebelum subuh) menjadi “magic hour” buat saya. Saya hampir ga pernah baca-baca (buku pelajaran) pas dini hari karena emang fokus nonton bola. Nah pas kelar nonton bola dan nunggu subuh, apa yang saya baca biasanya keluar di ujian SD, bahkan sampai SMP. Seperti 80% apa yang saya bisa di ujian, “dapet wangsit”nya di jam fajar ini. Kenapa bisa begitu saya pun ga tahu. Mungkin bisa ditelusuri secara ilmiah, tapi saya sih menganggapnya pure hoki…

Kembali ke perkara jam tidur, di usia yang udah menginjak kepala tiga, apakah pola tidur juga masih sangat teratur? Hmmm… sebuah pertanyaan retoris kan, karena hampir semua yang seumuran saya akan menjawab “tentu… berantakan” Ahaha. Jaman smartphone, kerjaan lembur, konsumsi makanan yang tidak sehat, kurang olahraga, dah lah lengkap deh kondisinya memperburuk pola tidur.

Pas waktunya bangun, lemes kayak orang mau tidur.

Pas waktunya tidur, eh mata malah melotot depan layar layaknya ga mau tidur.

Tapi nih ya.. funnily enough.. ketika mudik, orang tua saya yang sudah berusia kepala lima, pola tidurnya masih terjaga teratur dan saya pun bisa terbawa mengikuti pola tidur “ideal” seperti mereka.

Dan dari situ saya ingin berterima kasih pada orang tua karena diingatkan lagi mengenai kebiasaan menarik satu ini: memulai hari lebih awal. Banyak hal yang nyaman dikerjakan di pagi hari. Selain itu, memulai sense of accomplishment dari awal hari membantu untuk terus semangat menjalani hari. Toh di kondisi pandemi WFH seperti ini, kalau ngantuk lebih memungkinkan bisa bobo siang. Hehehe…

Dari jam tidur orang tua saya pula saya menemukan satu hal menarik lagi bahwa tantangan utamanya ternyata bukan di perkara bangun atau lama jam tidurnya. Tapi, bagaimana biar tidur lebih awal. Karena kalau tidurnya lebih awal, kita akan punya spare untuk tidur lebih lama dan tidak menggerutu kalau bangun pagi harinya.

Begitukah?

Bekasi, 23 Maret 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan keempat untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Selamat karena Membaca

Jaman saya sekolah menengah di Solo dulu, Gramedia jadi salah satu tempat favorit untuk nongkrong para pelajar selain game center. Karena pelajar jaman dulu rajin baca buku? Sebenarnya engga juga ya, karena faktor tempat yang cozy, adem dan era informasinya masi banyak yang mengandalkan media cetak. Mau update berita bola, otomotif, baca komik atau bacaan entertainment lainnya masih minim di internet. Yang jelas Gramedia selalu rame pengunjung.

Tapi sekarang, saya kalau ke Gramedia bawaannya kayak di tempat asing, saking sepinya. Tampaknya era sudah berubah. Sudah banyak informasi tersedia secara online, dan minat baca buku secara fisik menurun drastis. Sayangnya, data menunjukkan berdasar survey pun, literasi (minat baca) Indonesia salah satu yang paling rendah di dunia!

Perubahan media baca fisik ke virtual tidak bisa menjadi alasan karena toh jumlah buku yang di-download secara online pun minim. Ironisnya, Indonesia selalu juara untuk urusan cerewet di media online.

Minim baca, banyak suara. Waduh.

Saya sendiri bisa dibilang bukan orang yang suka membaca.. wkwk.. entah kenapa cepet bosan (nah, muncul lagi ya alibi dari orang yang turut andil bikin literasi Indonesia nyungsep). Padahal setelah dipikir-pikir, banyak hal yang saya lihat dan alami sendiri: banyak orang terselamatkan karena membaca.

Contoh satu, dari teman kantor saya dulu. Orangnya cukup unik. Pas jaman kuliah dia ga pernah ikutan ujian kalau belum khatam (selesai) baca buku modul teknik yang supertebal itu. Jadi baru selesai baca setengah, ga dateng ujian. Dilepas, pasti ngulang. Tapi ternyata setelah masuk dunia kerja, pas ujian sertifikasi teknis dia hampir selalu dapat nilai sempurna. Ga cuma sekedar lulus, tapi nyaris sempurna (ga gampang lho). Ternyata orang yang bacaannya banyak, pas nembak (nebak jawaban) pun bisa lebih akurat. Ketika kesulitan, lebih bisa memilih mana opsi yang make sense.

Contoh dua, yang saya alami sendiri. Dulu saya sempat belajar bahasa Prancis walau seuprit. Cuma sampai level yang paling dasar. Suatu saat, pas solo travelling saya terdampar di stasiun transit Bologna, Itali. Kacaunya, waktu untuk pindah platform sangat terbatas plus pengumuman dengan bahasa Itali yang saya jelas roaming (hampir ga bisa nangkep). Eh surprisingly, ada beberapa kata yang mirip antara bahasa Itali dan Prancis. Dan ketika saya menuju platform kereta berdasar insting lintas bahasa ini, ternyata tepat dan seketika saya masuk kereta, keretanya berangkat. Hampir ketinggalan kereta, tapi knowledge kecil yang saya baca ternyata menyelamatkan.

Poinnya adalah, cepat atau lambat, pengetahuan yang pernah kita baca bisa menyelamatkan di waktu yang tidak terduga.

Mungkin tak salah kalau Allah SWT menurunkan ayat pertama pun berbunyi “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan”

Nah jadi PR kita nih untuk lebih meningkatkan membaca, karena harus diakui sangat menantang untuk dibiasakan. Saya yang dari kecil sudah coba dibiasakan bunda dan bapak untuk baca, sampai sekarang pun masih perlu banyak berbenah. Hehe.

Mungkin mindsetnya perlu diubah, bukan membaca karena mau ujian, tugas kantor, atau alasan dari luar lainnya. Tapi lebih ke apa ilmu yang kita pelajari, sedikit demi sedikit, pada waktunya nanti akan menyelamatkan diri kita sendiri di saat yang tak terduga.

Yuk mari.

#MakasihBunda #MakasihBapak #SelaluBelajar #SemangatMembaca

Menyingkirkan Rintangan

Sepertinya kita semua tahu akan sosok pelawak Sule (Entis Sutisna) dan pesulap Deddy Corbuzier ya. Bagaimana tidak, mereka berdua salah satu yang paling banyak muncul di TV, dan kalaupun sekarang sudah banyak yang beralih dari TV ke Youtube, tetep saja dua orang itu jadi beberapa yang paling tinggi exposure-nya alias sering tampil.

Berbicara tentang exposure mereka yang saya dapatkan di Youtube, ini kesamaan mereka:

  1. Sama-sama pernah sampai di titik paling top di bidangnya. Sule jadi pelawak nomor 1 Indonesia (pas booming bersama Opera Van Java, pun sekarang tentunya masih di jajaran top). Deddy Corbuzier jadi pesulap atau mentalis nomor wahid di tanah air (dan sampai sekarang pun masih yang paling terkenal walau sudah berhenti sulap..)
  2. Sama-sama mengalami kisah perjuangan hidup yang sulit sebelum mencapai kesuksesan. Sule yang anak tukang bakso yang amat sederhana, Deddy pun waktu kecil beli bakso 1 porsi untuk dibagi serumah. Saking sulit finansial. Bayaran awal mereka? <= 50ribu (kalau sekarang mah sekali episode angkanya bisa >= 50 juta ya)

Tapi bukan dua hal yang sudah banyak diketahui orang itu yang menggelitik pikiran saya. Ada hal menarik yang keluar dari mereka dan posisi saya sebagai orang tua baru jadi bisa relate. Apa itu? Tak lain pas di suatu momen mereka mereka tercenung senyum-senyum agak gimana gitu akan hal berikut:

Sepakat nih kalau kesusahan, rintangan yang dialami sepanjang hidup adalah yang membentuk jadi pribadi tangguh seperti sekarang. Note, rintangan membuat tangguh. Pertanyaannya, di saat sudah sukses finansialnya oke dan jadi seorang bapak, kenapa mereka alih-alih memposisikan anak dalam rintangan, malah menyingkirkan rintangan itu dari anak-anaknya?

Sule secara ga langsung mengakui bahwa memberi privilege (keuntungan khusus) buat anaknya, Rizky Febian. Walaupun sang anak sulung tahu dan mengikuti bapaknya dari jaman finansial susah sampai finansial mapan, Sule tetep ga mau Iky (panggilan akrab Rizky Febian) merasakan hal yang sama seperti bapaknya dulu. Karir artisnya pun mayan cepat karena sedikit banyak terbantu pamor sang bapak (note: jangan disalahartikan Iky numpang tenar aja ya, terlepas adanya privilege, saya pun mengakui suara Iky top kok).

Hal yang hampir mirip berlaku untuk Azka, anak Deddy Corbuzier. Belum jadi artis sih. Cuman secara lifestyle & privilege udah oke banget dan Deddy sendiri mengakui dia belum pernah menempatkan Azka seperti dirinya dulu yang harus hidup susah dan ke mana-mana berjejalan naik transportasi umum (bus) yang sumpek.

Hmm.. sampai di sini udah keliatan benang merahnya ya apa yang mau dibahas.

Orang sukses adalah orang yang terbukti tangguh. Orang tangguh adalah orang yang telah dan mampu menyingkirkan rintangan. Eh, orang yang sudah melewati rintangan jadi tangguh, eh tetep punya tendensi menyingkirkan rintangan untuk anaknya.

Cukup bapak/ibu saja yang mengalami, semua kerja keras ini dari awal memang sudah diniatkan agar anak bapak/ibu nanti punya hidup yang lebih baik. Sering dengar seperti itu? Kalau iya, berarti kita mesti bersyukur terlahir dari orang tua yang luar biasa.

Back to topic, jadi benar atau salah tuh menyingkirkan tantangan untuk anak?

Hmm.. tricky yaa.. saya sebagai orang tua baru pun tentunya belum punya kiat efektif terkait hal tersebut. Pasti besar tantangannya.

Secara natural, rasa sayang orang tua akan membuatnya menyingkirkan rintangan dan memberi privilege. Keuntungan yang didapat si anak ini bisa jadi pedang bermata dua: bisa jadi modal untuk jadi pribadi yang lebih baik (secara pendidikan, finansial dan harapannya manfaat ke orang banyak), tapi bisa juga jadi bermental tempe, tidak tangguh, dan susah menjalani kerasnya kehidupan.

Secara natural pula, orang tua selalu berharap anaknya jadi anak yang tangguh. Agak kontradiktif memang kalau pengen tangguh tapi rintangannya disingkirkan. Sejauh ini orang tua selalu berdalih bahwa ya cukup dimaknai saja dulu perjuangan orang tua, tidak perlu mengalami hal yang sama. Ini betul, tapi menyisakan PR karena tidak banyak anak yang bisa memaknai tanpa harus benar-benar mengalami.

Berbicara privilege sendiri, konon juga terpengaruh sama tantangan masing-masing generasi. Contohnya begini, dulu orang tua hidup susah ke mana-mana mesti naik bus. Saat punya anak, anaknya dibelikan sepeda bagus biar lebih fleksibel bepergian. Apakah ini privilege? Iya, dan sudah upgrade banyak dari jaman orang tuanya. Masalahnya, ketika sang anak dihadapkan pada lingkungan atau jaman yang standarnya adalah motor bagus atau bahkan mobil, tentu bisa kompleks yang dirasakan. Dari perspektif anak, fasilitas yang dia dapatkan merasa di bawah “standar lingkungan” atau “standar jaman”. Dari perspektif orang tua, antara berpendapat ini anak sudah dikasi fasilitas bagus kok masi ngelunjak, atau merasa bersalah karena tidak bisa memberi hal yang baik (menurut lingkungan) untuk anaknya.

Padahal sekedar memberi fasilitas, apapun bentuknya, itu sudah merupakan hal yang patut disyukuri.

Mungkin memang harus trial and error ya mem-balance antara menyingkirkan rintangan, memberi privilege dan membentuk anak yang tangguh dan pandai bersyukur. Mungkin juga kuncinya bukan di perlu tidaknya sebuah privilege, tapi bagaimana orang tua membersamai anak saat bersiap untuk tantangan dan saat rintangan itu datang.

Bismillah semoga kita semua jadi pribadi yang tangguh, pandai bersyukur dan bisa menularkan pada anak kita kelak.

Tak lupa, kembali appreciation post.. makasih Bunda dan Bapak yang sudah berusaha memberikan apapun untuk saya, yang niatnya pasti baik tapi sayanya yang terima suka labil, kadang menerima dengan baik dan kadang kurang baik.

Semoga dalam rintangan yang akan selalu ada, kita selalu bisa membersamai dalam kasih sayang. Amiin.

#MakasihBunda #MakasihBapak #SelaluBelajar #BersamaDalamRintangan

Lintas Generasi

Semalam saya lumayan gabut dan memutuskan menikmati Youtube saja, scroll santai sesuai apa yang direkomendasikan Youtube di halaman muka. Ternyata kontennya band tenar generasi 90, Padi, yang sekarang kumpul lagi setelah sekian lama dan punya acara show sendiri berjudul Padi Sang Penghibur. Kuping saya yang lama ga dengar lagu-lagu Padi kembali bernostalgia pada lagu mereka. Lagu yang beken sekali jaman saya kecil dulu. Dan otomatis otak saya bilang:

“Nah ini baru keren! kenapa band-band jaman sekarang ga bikin lagu sekeren ini!”

Padi dan Dewa 19 yang kumpul lagi. Sheila on 7 yang langgeng. Mereka semua adalah beberapa legenda musik 90an yang lagunya keren sampai sekarang, dan secara ga sadar saya berekspektasi band sekarang lagunya mestinya setipe dengan mereka. Musik yang keren dan lirik yang indah puitis.

Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin ada yang salah dengan pendapat saya terkait musik dari generasi saya kecil (sebutlah generasi 90an) dengan generasi sekarang. Mungkin semua itu hanya urusan selera yang terbentuk sesuai era masing-masing. Kenapa begitu? Karena ambil contoh Noah (dulu generasi 90 mengenalnya Peterpan) yang beken di lintas generasi. Mereka menyesuaikan diri di era sekarang dengan musik yang lebih berani (dan tetep laris), eh ga nyangkut di telinga saya. Suara Ariel masih top tier, tapi kok di saya musiknya tetep jauh lebih enak Peterpan ya.. Dan seenak-enaknya Peterpan, bagi bapak saya tetep lebih enak Koes Plus. See, sama-sama musiknya lintas generasi loh..

Hal itu ga terbatas sama musik juga. Bahkan berlaku hampir di semua bidang. Sepakbola misalnya, apapun kehebatan yang Messi tunjukkan di era sekarang, bagi generasi 80an tetap menaruhnya di bawah Maradona (padahal kalau diliat dari highlightnya, harusnya jago Messi lho.. menurut sayaa…). Ini mereka juga sama-sama punya kehebatan yang diakui lintas generasi, tapi masing-masing generasi akan keukeuh pada jagoan generasinya sendiri.

Tak terbatas di entertainment pula, kita lihat dari sisi edukatif. Pak Habibie, adalah orang Indonesia panutan utama di generasi saya. Bangun pesawat, cendekiawan, otak Jerman hati Mekkah, jadi hal yang keren untuk diraih. Generasi sekarang, mungkin Nadiem Makarim yang lebih dilihat karena keberhasilannya memberi pengaruh besar dengan Gojek. Kalau ibu saya yang seorang guru, mungkin sosok Ki Hajar Dewantara atau Ahmad Dahlan tetap yang jadi panutan besar. Poinnya? Level kebaikan yang besar dan lintas generasi pun akan diterima sesuai perspektif generasi masing-masing.

Nah, dari sinilah saya jadi refleksi diri. Terutama karena jadi orang tua baru. Jadi pegawai juga di tempat yang isu lintas generasinya cukup kencang. Setelah diamati, challenge utamanya memang karena merasa tahu dan parahnya bisa geser jadi merasa paling tahu, padahal perspektifnya terbentuk di generasi sendiri, tanpa mencoba memahami generasi yang lain. Dan yang bikin complicated.. ternyata itu natural! Seperti kasus di musik, sepakbola dan edukasi tadi, masalah selera itu terbentuk sesuai generasi.

Ke depan saya benar-benar belum tahu gimana komunikasi lintas generasi ini mesti dihadapi. Tantangan tentu makin besar. Bagaimana bersikap saat perspektif saya kelak akan berbeda dengan anak saya.

Tapi satu yang pasti, saya akhirnya sadar dan pengen mengapresiasi sebesar-besarnya pada orang tua saya. Karena walaupun tidak selalu jadi yang paling tahu, bahkan sering saya rasa ga mau tahu, yang ternyata memang siapapun susah untuk tahu.. mereka lah yang selalu ada dan do the best sesuai yang mereka tahu.

Tidak semua hal perlu tahu dulu.

Tidak semua hal akan kita tahu.

Karena mungkin yang tertinggal sampai lintas generasi hanyalah usaha-usaha yang sudah diupayakan sebaik mungkin walau dalam kesulitan dan ketidaktahuan.

Terima kasih bunda.. terima kasih bapak..

#MakasihBunda #MakasihBapak #SelaluBelajar #LintasGenerasi

16 Months Later…

Wew.. It’s been 16 months since the last time I updated this blog…

Butiran debu. Banyak sarang laba-laba. Basi. Elah, bisa-bisanya ya saya yang acapkali menuliskan “writing” sebagai salah satu hobi, malah ga pernah menulis lagi.

Life is getting tougher, ma broo.. Quarter life crisis.. Hayyah, banyak excuse padahal aslinya emang anak malas. Hehe..

Namun yawda lah ya, tiba waktunya untuk me-reset kembali. Bismillah.

Actually, selama 16 bulan “menghilang”, banyak sekali suka dan duka. Many things changed. Tapi alhamdulillah semuanya dalam tingkat di mana saya tidak bisa melakukan hal lain selain bersyukur.

I’m married!! 

Yes, sudah 6 bulan saya mengarungi hidup baru bersama the beautiful, special woman of my dream. My special one yang -duh, susah diungkapin dengan kata-kata, ga akan muat dalam satu postingan apalagi postingan setelah lama vakum -_-“” (dibikin serial aja kali ya untuk ngenalin Si Dia)

Oh, saya juga sudah paling ke Indonesia tercinta setelah berpetualang dua tahun di negeri Oranye. Sekarang udah gampang cari rendang, udah gampang cari gorengan, pokoknya makanan enak semua (pantes saya gemukan yah). Alhamdulillah

Sekian dulu ya. Bismillah semoga konkret ga wacana lagi untuk update blog. Saya Mushofi, salam kenal buat yang belum kenal, dan buat pembaca setia (kayak ada aja) I’m back!! 🙂

2016 Tahunnya Bersyukur

Halo teman-teman semua,

Tak terasa ya udah 2016 aja. Seperti biasa, waktu berlalu 365 hari panjangnya di 2015, dan banyak dari kita bisa dengan enteng bilang “wah ga kerasa yaa” (termasuk saya!). Dengan logika kayak gini, ga heran sih Rasulullah SAW bersabda selisih waktu antara beliau diutus (which is di abad 7) sampai kiamat (yg entah kapan, wallahu a’lam) itu jaraknya hanya seperti jarak 2 jari, dan itu make sense. Jarak dua jari jelas sangat pendek, tapi saya ngebayangin di akhirat kelak pasti ga ada yg protes dengan kalimat tadi. Lha wong mau diberi waktu pendek atau panjang, siklusnya tetep: Tahun baru-beraktivitas-akhir tahun-bilang ‘ga kerasa ya tau-tau udah akhir tahun aja’-Repeat. Ahaha..

Oya, awal-awal tahun biasanya pada bikin resolusi nih. Entah emang udah kebiasaan, entah karena ikut-ikutan, atau ya karena inget standar baku resolusi awal tahun, “mengejar wish list tahun lalu, meneruskan usaha dua tahun lalu, yang ditulis tiga tahun lalu, dan sebenarnya udah direncanakan empat tahun lalu”… Wkwk kok serba rekursif ya..

Antara penting ga penting sih ya bikin resolusi, tapi diliat positifnya aja setidaknya ada semangat untuk memperbaiki diri. Tiap orang punya checkpoint sendiri-sendiri dalam berusaha mewujudkan mimpi. Ada yang pas ultah, ada yang waktu naik kelas, ada yang di momen pergantian tahun, dan banyak lagi. Apapun, semoga teman-teman terus semangat dan tercapai targetnya. Amiin.

Saya sendiri mau ngapain ya di 2016? Mau ngapain hayo? Ahaha..

Saya ga bisa bilang ini adalah sebuah resolusi. Tapi yang jelas saya ingin kembali belajar hal basic di tahun ini, belajar bersyukur. Beberapa tahun belakang sudah berlalu dengan indah, tapi kok ada dark side yang susah banget diilangin: merencanakan, berusaha gigih, lalu lihat hasilnya dan tentuin mana yg sangat pantas disyukuri, mana yang cukup pantas disyukuri, dan mana yang tidak.

Whaaat?! Lancang banget ga sih.

Bukannya bersyukur itu harusnya berada di step paling pertama banget? Iya mestinya. Karenanya saya bilang tahun ini pengen hal tersebut ga berhenti di kata atau teori aja.

Tahun yang berlalu itu melelahkan, ya iya namanya usaha, dan kerasa  semakin capek yang ga perlu karena lupa atau telat bersyukur. Secara garis besar PRnya dua: 1. nemuin cara efektif dan bisa jadi resep konstan  memulai hari dalam keadaan bersyukur regardless yg terjadi di hari sebelumnya (bukan galau) dan 2. kalau emang lupa, gimana biar secepat mungkin ingat untuk bersyukur.

Berasa absurd ya? Ahaha..

Yang jelas, 2016 ini akan jadi tahun yang teramat indah. Akan banyak impian yang tercapai, karena insya Allah tahun ini saya lebih bersyukur dari tahun kemarin 🙂

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Bismillah 2016.

Puncak Klasemen

Minggu lalu, ada obrolan cukup menarik yang saya temui di grup keluarga kosan Bandung, Pancasila 9 (dinamain berdasar nama gang dan nomor rumah, tempat kami menjalani hari-hari luar biasa jaman S1 dulu). Obrolan apakah itu? Check this out aja ya.. 🙂  *note: semua nama sengaja disamarkan*

A : Mas B, istrine sampun isi (istri sudah hamil)?

B : Masih belum, A.

C : Wah, D masih memimpin klasemen ya! (C dan D sama-sama sudah punya istri dan 1 anak, cuma anaknya mas D lahir duluan)

E : Weh, berarti kalau mau geser pemuncak klasemen, mesti cari istri yang minimal punya anak 2 dong ya? (si E ini belum nikah, tapi visioner)

C : Cerdas, E.

B : Bikin pondok pesantren atau yayasan anak yatim, E. Langsung banyak anakmu. #anakangkat 😀

C : Eh by the way, Si F mau promosi ke divisi utama Desember ini nih (beuh, mas F mau nikah = mau promosi ke divisi utama!)

B : Wah bulan ini dong, C.

C : Yup. Kalau si G udah nikah tapi istrinya langsung ditinggal jauh, berarti degradasi ke Serie B (waduh!)

H : Mending mas G cuma ninggal ke Kalimantan, mas I ninggal antar negara euy. Hahaha (well, mas I lanjut kuliah di Uni Emirates)

F : (sang calon mempelai) Tenaaang.. aku kayak Leicester kok. Promosi langsung menuju puncak klasemen. Sekarang masi playoff championship (persiapan sebelum masuk divisi utama)

J : Weh, si H ga punya hak urun rembug (diskusi), nikah aja belum. Bolehnya cuma nanya doang, wkwkwk…

F : Nah loh, H. Menengo (Diamlah)!

A : Si H belum pelantikan

I : Jangan-jangan dia gay (beuh)

C : Jangan gitu cah. Si H ini baru LDR. Dia di Jakarta, ceweknya di masa lalu. Hehe

B : Warbyasa, LDRnya si H menembus ruang dan waktu. Eh tapi yakin C, si H ini LDRnya sama cewe? Gimana kalo ternyata cowo?

***

Saya : (baru buka hape tiba2 notif whatsapp numpuk) Astagaa.. Ada sistem promosi degradasi.. pemuncak klasemen.. Ane masih di liga amatir berarti.. Hahaha..

blog1

Demikian.

 

Get Busy Living Or…

Yah jadi kemarin saya baru chat dengan sobat saya yang ujung-ujungnya mengarah ke sosok Morgan Freeman. Bagi yang demen nonton movie, aktor yang satu ini udah punya level tersendiri: legend. Hal paling legendary tentu suara beliau yang sungguh exceptional karismatiknya. Kalau saja tes TOEFL atau IELTS, beliau yang membacakan soal listening, mungkin saya bakal lebih mampu menjawab. Crystal clear sih. Dan nilai IELTS saya pun bisa lebih dari batas tuntas *hahah.. pembenaran*

Karena faktor suara tadi, eyang “Nelson Mandela” (begitu saya sering menyebutnya.. mirip sih) sering disuruh membawakan narasi. Semua line yang dibacakan olehnya punya arti yang dalam dan berkesan. Se7en, Bruce Almighty, Dark Night Trilogy, Now You See Me, dan tentunya film dengan rating IMDB tertinggi sepanjang masa, The Shawshank Redemption.

Dari pembahasan mengenai movie terbaru, Morgan Freeman, akhirnya mengarah ke Shawshank (disingkat jadi satu kata aja ya..) deh. Salah satu film paling berkesan yang pernah saya tonton. Apakah saya setuju kalau film ini jadi yang paling tertinggi di IMDB yang notabene salah satu web pemberi rating terbesar di dunia? Most likely, yes. Saya bakal memberi rating 10 dari 10 untuk film tersebut.. ahaha…

Pertanyaan berikutnya tentu mengarah ke “Apa sih yang spesial dari Shawshank?”

Aihh.. Baiknya tonton sendiri deeeh biar lebih berkesan :v

Tapi okelah salah satu poin yang sangat berkesan, yang membuat para penontonnya bakal sukarela memberi rating tinggi, adalah quote ini:

shawshank-redemption-quotes

Andy Dufresne, sang tokoh utama dalam cerita, dijerat hukuman penjara seumur hidup atas pembunuhan terhadap istrinya sendiri. In fact, dia tidak pernah melakukannya. Walau kondisi saat itu, unfortunately, menyudutkan Andy seolah-olah emang dialah pelakunya. Tragis.

Dalam sekejap Andy kehilangan istri, pekerjaan, nama, dan tentunya sisa waktu hidup yang mesti dihabiskan dalam kelamnya balik jeruji. Shock? Lebih dari sekedar shocking sih ini.

Tapi apa yang dilakukan Andy dalam penjara Shawshank inilah yang sangat menyentuh #warbyasa #khanmaen (haha.. sok kekinian). Alih-alih membiarkan dirinya jatuh dalam kekelaman dan penyesalan, dia terus berikhtiar tak kenal lelah.

Dengan cara…

Sampai akhirnya….

*ah, kalau itu diceritakan, mega spoiler namanya. hehe.. tonton gih 😉 *

**

Sebagaimana Andy, dalam hidup kita mungkin bakal menemui persimpangan atau ujian yang membuat kita ultimate galau, stres, shocked. Tapi di satu titik paling desperate, di situlah kita akan kembali pada dua pilihan sederhana:

Get busy livin’ OR get busy dyin’

Perkara memilih tersebut mutlak pada diri kita sendiri. Ga peduli orang lain atau kondisi gimanapun. Does it hurt? Does it matter? Whatever…

Kita selalu punya pilihan untuk mulai menyibukkan diri pada kebaikan hidup kita. Mari 🙂

Belanda, Negerinya Sepeda

Sepeda adalah salah satu hal yang sangat identik dengan Belanda. Bagaimana tidak, negeri Oranje ini punya populasi sepeda terbesar di Eropa. Dan karena benua lain cenderung males bersepeda, ya boleh lah kita bilang jumlah sepeda dan pemakai aktifnya paling banyak di dunia 😀

Emang begitu asiknya ya bersepeda di sini?

Kalau melihat harga bensin dan tarif parkir kendaraan bermotor di sini sih, ya sudah pasti naek sepeda itu asik banget. Murah meriah. Tapi ga asik lah ya kalau dikit-dikit menghubungkan keasikan dengan harga..

Lalu seberapa asik dong?

???????????????????????????????

Harus praktek secara langsung. Sepeda sudah siap, saatnya berkeliling kota Leiden untuk mencari musabab populernya bersepeda di Belanda. Let’s go! Baca Selengkapnya