Zwarte Pad

Jalan kaki 5 km itu “ngga banget” di negara yang anginnya naudzubillah seperti Belanda. Berhubung keterpaksaan oleh kondisi apes (Baca: Sakura di Belanda), saya mesti mencari tau info jalan tembus terdekat biar ga terlalu ngos-ngosan jalan. Oya bagi yang langsung ngeh bahwa  Google Maps adalah solusi tersimpel untuk masalah kayak gini, sayang sekali hape saya unexpectedly lagi error. Fufufu…

Oke, kita review effortnya ya..

Effort 1 

Berhubung saya baru saja dari Cherry Blossom (Sakura) Festival, tanya jalan ya ke orang yang berkaitan dengan festival. Tujuan mereka udah pasti ke gerbang depan, dan siapa tau bisa nebeng. Hehe.. #ngarepbener

Sayang sekali, saya ga bisa nebeng tapi dapat petunjuk bagus kalau ga mesti ke gerbang depan untuk mendapati halte bus. Ada halte yang lebih dekat, kata beliau hanya 15 menit jalan. Tinggal ikuti papan petunjuk exit menuju “Camping”.

Lima menit jalan kaki, untuk pertama kali terlihatlah papan petunjuk menuju “Camping”. Jaraknya? 2.5 km. Uh oh. Laah.. katanya  15 menit doang?

At this moment saya baru nyadar betapa berbedanya jangkauan kaki saya dengan si meneer Belanda. Tapi langkah tetap mesti dilanjutkan.

Effort 2

Saat kaki mulai gempor (udah jalan hampir 2 km ni, kayaknya), bertemulah dengan sebuah persimpangan yang mana kalau tengok kiri keliatan ada jalan besar di sana. Wah, di sanakah halte busnya? Tapi kok kalau ngikut meneer ke arah “Camping” arahnya mesti lurus dan masih 1 km! Kalau ketemu persimpangan yang meragukan gini, teman-teman kira-kira pilih mana? Ngikut petunjuk 1 no matter what, atau instingtif belok kiri dengan harapan menemui halte bus di sana?

Kebetulan saat ragu tersebut, ada noni Belanda yang lewat dan langsung aja tanya. Ternyata beliau bukan orang situ (Amstelveen), tapi willing to help dengan Google Maps-nya. Someone with Google Maps! Yeay!

Dari petunjuk sang noni, belok kiri jadi pilihan. Kata beliau, begitu kita mendapati jalan besar, deket situ ada  halte Schinkeldijke, yang mana ada bus 199 menuju Schiphol Airport, tujuan saya sebelum balik lagi ke Leiden tercinta. Nice info.

Ga butuh waktu lama untuk mencapai jalan besar. Pun halte bus yang langsung keliatan. Akhirnya ga perlu jalan kaki lagi. Tapi sesampai di halte, ternyata nama haltenya…

ZWARTE PAD.

Ga ada bus 199 lewat sini. OH MY.

Effort 3

Jeng jeng, masa bisa salah ngasi info sih noni Belanda tadi. Hmm.. Di halte Zwarte Pad, rute busnya ga ada yang mengarah ke Schiphol. Apa yang salah di sini ga perlu banyak dipikirkan karena di halte seberang (Zwarte Pad, tapi menuju tujuan akhir sebaliknya) ada rombongan turis muka-muka Asia. Ada kemungkinan besar bahwa mereka menuju Schiphol (bandara utama Belanda) juga kan?

Well, setelah tanya ternyata tujuan mereka adalah centrum Amsterdam. Beda arah. Tapi mereka bilang (dan make sense) kalau saya mau ke Schiphol, kan dari pusat kota Amsterdam banyak pilihan transport.

Ada pilihan di sini: mau coba nyari halte Schinkeldijke info dari noni belanda tadi (siapa tau sebenarnya emang ga terlalu jauh dari Zwarte Pad), atau cari aman menuju pusat Amsterdam dulu (pasti ada transport, tapi lebih ribet mesti pindah-pindah bus/metro/kereta).

Berdasar insting, pilihan pertama lah yang saya pilih. Semoga halte berikutnya emang ga jauh, dan bener namanya Schinkeldijke. Semoga.

Baru setengah perjalanan menuju next halte, bus yang ke arah centrum Amsterdam datang. Mengingat frekuensi bus di jam itu mulai jarang (30 menit sekali), kok sepertinya ini jadi lebih menarik.

Putar balik, kejaar busnyaaa…

…..

…..

Dan.. selamat.. karena busnya..

GA KEKEJAR.

Selamat berkeluh kesah di Zwarte Pad. Damn.

**

Kawan, pernah ga sih kalian menyusahkan diri sendiri karena pilihan yang berubah-ubah? Belum pernah, pernah, atau sering?

Kadang saat kondisi awal kita kurang tau tentang sesuatu, kita bertanya pada orang yang menurut kita expert. Beliau memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat kita yakini membantu dalam melangkah. Lalu di tengah jalan, kita lelah dan menemui persimpangan. Ada orang lain menunjukkan opsi lain yang terlihat lebih efektif karena ia menunjukkan dengan data yang terlihat valid. Saat sudah berbelok, ada lagi orang lain dengan pendapat yang make sense, walau sebenarnya kurang tepat jadi rujukan karena tujuan akhirnya beda. Sampai akhirnya, ngikut aja ke opportunity yang terlihat di depan mata.

Huff.

Beginilah, kalau mau ngeblog tapi campur dengan balada ngerjain tesis. Jelas paragraf geje barusan itu curhat tesis. Hahaha..

zwarte pad

Olah TKP: Yang dilingkari kuning adalah halte “Camping” (dilewati bus 199 arah Schiphol). Dilingkari biru adalah halte “Schinkeldijke” (dilewati bus 199 arah Schiphol, beneran next halte dari Zwarte Pad, noni belanda ngasi petunjuknya ternyata valid tapi ga di-zoom in jadi berasa rancu). Dan yang ditandai merah adalah halte Zwarte Pad, tempat saya termangu walau akhirnya sampai Schiphol juga sih dengan sekali oper.

Poin yang didapat dari kejadian Zwarte Pad dengan tesis:

  • Kalau tanya dengan expert atau first supervisor, di mana penjelasan beliau terlihat simple dan doable, expect for many more efforts! Kita jelas berangkat dari background ilmu yang lebih dangkal sehingga perlu effort lebih banyak, ga sesimpel itu.
  • Kalau ada teman diskusi lain yang bisa membantu (misal: akses jurnal via link khusus yang tidak terjangkau oleh kita), apresiasi bantuannya tapi perlu juga bagi kita untuk menggali lebih detail. Kalau terima mentah saja, dijamin data yang didapat malah bikin lebih pusing.
  • Setiap mahasiswa tesis punya background dan tujuan sendiri-sendiri, yang sangat mungkin beda jauh dengan kita. Saling bantu, tapi jangan banding-bandingkan progress. Fokus pada progress riset sendiri. Kalau merasa tertinggal jauh, ingat bahwa kita tak pernah tau detail usaha belajar masing-masing orang. Gampangnya, bisa jadi orang lain berangkat dari poin 50 (hasil experience bekerja), dan progres poin sekarang 80. Sedangkan kita baru di poin 60, tapi kita berangkat dari poin 10 (ilmu minim karena masih newbie). Secara progres umum tertinggal, tapi dari peningkatan poin, lebih banyak bukan? Well, sekali lagi fokus pada progress ilmu yang didapat, don’t compare 🙂
  • Semangaaat… Memang banyak bingung. Memang banyak lari kejar-kejaran dengan deadline. Kadang tertinggal juga. Banyak capek. Kadang benar-benar tak berprogress. Tapi semangat!!
  • Yang paling penting adalah punya tujuan. Jalan yang ditempuh bisa jadi berubah dari petunjuk awal, bisa jadi melalui jalan yang lebih jauh. Tapi fokus pada tujuan, berusaha maka kita akan sampai. Satu tambahan penting buat penyemangat, betapa melelahkannya jalan, jadi tak masalah kalau akhirnya berujung ke hatimu #laaah

Demikian curhatnya.

Terima kasih sudah membaca 🙂

Travelling Murah dengan Eurolines (Amsterdam-Paris)

Bercerita lagii.. berhubung winter break telah tiba dan banyak cerita travelling yang belum sempat tertuliskan di blog! :v

Empat hari kemarin saya baru saja jalan-jalan menuju ke ibukota pariwisata dunia, Paris. Untuk beribu alasan mengapa sekali seumur hidup kita mesti pernah berkunjung ke Paris ga usah ditulis kan ya (kepanjangan, atau di lain tulisan saja.. hehe). Berhubung saya kuliah di sebuah kecamatan bernama Leiden (punten lovely Leiden, emang terlalu kecil untuk disebut ‘kota’ sih.. hihi) jadi mau tak mau harus ke kota dulu, Amsterdam atau Den Haag, sebelum memulai perjalanan ke Bandung van Prancis (kok dibalik jadi garing istilahnya ya, padahal Bandung gradenya naik dengan menyandang julukan Paris van Java :D)

Banyak cara menuju Paris, bisa dengan coach (bus untuk perjalanan jarak jauh antarnegara), kereta, atau pesawat. Link lengkap opsi transport Amsterdam-Paris bisa dibuka di link ini. Dalam tulisan ini, saya bakal review tentang salah satu opsi transport, Eurolines. Dengan opsi ini, kita bisa keliling Eropa dengan harga yang murah meriah cem cireng dan bala-bala (aduh, ga segitunya juga kali.. bikin analogi malah ketauan kangen jajanan tanah air).

Oke mari kita kupas satu per satu brand aliansi 29 co-operate coach company yang armadanya mencakup hampir seluruh Europe ini. Terlebih Amsterdam merupakan opsi paling populer untuk masuk Eropa (banyak pilihan penerbangan) dan Paris adalah opsi wisata paling masyhur di dunia, semoga catatan kecil sebuah perjalanan ini bisa membantu teman-teman 🙂

Harga dan Booking

Naik Eurolines itu cocok buat traveller yang budget minded, biasanya sih mahasiswa atau backpacker yang kantongnya limited (salah satunya saya). Harganya terjangkau, apalagi kalau booking dari jauh hari (harga tiketnya fluktuatif). Apakah otomatis harganya lebih murah dari kereta dan pesawat? Belum tentu, mengingat tanggal booking, one way/PP, amal baik dan harga promo menentukan mahal atau murahnya moda transport yang bisa dipesan online. Tapi most likely, emang iya naek bus Eurolines lebih terjangkau. Normalnya, 35 euro untuk sekali jalan Amsterdam-Paris (70 euro pp). Kemarin saya dapat lumayan miring, 57 euro pp karena booking 2 minggu sebelum berangkat (kalau book sebulan sebelum bisa jadi lebih murah lagi, tapi mana sempet, banyak assignment kuliah :D).

Di balik murah dan simple nya online booking di Eurolines, bersiaplah untuk satu hal unexpected : sudah book dan bayar, tapi dialihkan ke jadwal lain dengan alasan jadwal yang kita book udah full!

Kok bisa? Yah entahlah, ada error di sistem onlinenya Eurolines sehingga calon penumpang masi bisa book walau sebenarnya kapasitas kursi udah penuh. ‘Hebat’nya, saya pernah baca review kejadian yang sama di taun 2011 dan 2012. Dengan kata lain, udah 3 taun dan kasus seperti ini belum solved. Menarik bukan? :v

Atas alasan di atas, group saya pun terpaksa berangkat dan pulang dalam 2 kloter. Alhamdulillahnya, kami dapat telpon pemberitahuan 4 hari sebelum berangkat jadi masih bisa prepare. Nah kalau kita miss info (misal kebiasaan males ngangkat telpon kalau nomer belum tersimpan di contacts), bisa-bisa berkeluh kesah komplain penuh drama di kantor Eurolines. Baca Selengkapnya

Perjalanan Malam-2

(lanjutan dari perjalanan malam-1)

Then, sampai juga di perempatan jalan raya utama. Saking baik hatinya bapak tukang ojek, beliau menunggu sampai aku dapat bus jurusan Solo. Dan memang tak butuh lama, bus itu sudah datang. Aku segera membayar ongkos ojek ke bapaknya dan bergegas masuk ke dalam bus.

Tahukah Kawan, bus yang kutumpangi ini adalah bus legenda. Namanya Sumber Kencono. Legenda? Ya, paling engga dikenal oleh masyarakat sepanjang jalan Jogja-Surabaya seperti itu. Legenda karena kecepatannya yang mengagumkan (tetangga saya pernah naek bus ini Solo-Surabaya hanya 3 jam, padahal kalau naek mobil normalnya 5jam!). Tapi, saking senengnya ngebut, tak terhitung lagi berapa bencana yang ditimbulkannya. Mungkin kalau dikalkulasi, bus ini yang paling sering menimbulkan kecelakaan. Jadi, banyak orang mempelesetkan namanya dengan “Sumber Bencono”.

Sejak masuk di dalam bus, aku langsung excited. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya berada di bus ekonomi supercepat. Bus legenda ini. Benar saja, saat lampu merah padam berganti lampu hijau dan bus ini mulai melaju, percepatannya luar biasa. Percepatan itu dikombinasi dengan kenekatan. Bedakan berani dengan nekat. Nekat itu lebih brutal. Tikungan ke kiri, tikungan ke kanan, menyalip truk, menyalip mobil. Caranya, sensasional! Kalau dalam 100 perjalanan berturut-turut bisa seperti itu tanpa kecelakaan, bolehlah sopir bus ini bersanding dengan Sebastian Vettel di ajang F1. Tapi semua pasti pesimis. Hmm.. enaknya jadi penumpang bus ini, keamanan cukup terjamin. Nah, orang-orang yang di luar sana lah yang harus menanggung dag-dig-dugnya. Tak adil memang kalau sudah berkendara hati-hati tapi tetap tertebas bus ini. Yah, cara aman di jalanan menghadapi bus ini memang hanya dua: perbanyak doa kepada Allah SWT, atau sekalian saja naik bus legenda ini. Dua langkah itu pun kulakukan sekaligus, aku sholat lail di dalam bus (dengan duduk, sholat lail berkecepatan 100 km/jam tu). Alhamdulillah, 1 jam sudah sampai bangjo Kleco, tempatku turun dalam keadaan sehat walafiat dan busnya juga tidak kecelakaan.

Saat turun, aku tersenyum. 1jam.. Ngawi-Kleco. Padahal dengan waktu segitu, aku hanya bisa mencapai Sragen. Emang benar-benar deh mengagumkan kecepatannya. Oya, saat aku di dalam bus tadi, aku mengamati kebanyakan penumpangnya naek untuk menuju Solo, berjualan di pasar. Ibu-ibu menggendong banyak bakul, berangkat dari rumah jam 3 dini hari.. Eh, itu jam mulai naek busnya dink. Entah jam berapa ibu itu mulai menyiapkan dagangannya, lalu berjalan ke jalan besar untuk naek bus. Mengagumkan. Pengorbanan orang tua memang mengagumkan. Sejenak kuteringat lirik lagu bang Iwan Fals, “Ibu” Ribuan kilo jalan yang kautempuh.. Lewati rintangan untuk aku anakmu.. Nice…

Perjalanan malam yang menyenangkan. Mengagumkan. Dan untuk mengakhirinya aku berjalan kaki segenap hati menuju rumah. Tak terasa berat walau kebiasaan dijemput kalau pulang dini hari. Keluarga di rumah menyambut. Subuh, dan perjalanan malam pun berakhir.

Long Trip to Surabaya

Gerbang Sipil ITB, Senin 4 Oktober 2010 15.15 WIB

Kembali saya memasuki area kampus. Kebiasaan hari Senin kalau berangkat pagi parkir di parkiran SR, setelah rehat siang hari parkir di parkiran Sipil. Kalau dirunut sesuai kebiasaan, seharusnya saya sudah sampai di gerbang sipil ini 1 jam 15 menit sebelumnya untuk kuliah Rekayasa Perangkat Lunak. Tapi sudah terlambat. Payah? Tidak juga. Untuk sementara kuliah kulupakan. Semakin terdengar payah? Yah, just continue reading friends, :-).

Tidak seperti biasa juga, di mana saya hanya membawa tas cangklong berisi dua buku, selembar HVS dan seperangkat alat tulis tunai (halah.. kayak mahar saja..), sore itu saya membawa 2 tas yang isinya lumayan banyak. Satu tas berisi laptop dan kawannya-kawannya (charger, mouse, dll). Kesan payahnya sudah berkurang kan? Hoho.. Satu tas berisi sejumlah pakaian (baju formal, kaos, pakaian dalam). Hmm.. mau ada apakah?

Sebelum jadwal keberangkatan ‘yang tertulis di jarkom’, yakni jam 15.30 WIB, saya sudah sampai di tempat berkumpul, Campus Centre (CC) Barat. Mau berangkat ke mana? Yah, sesuai dengan judul tulisan ini: ke Surabaya. Ada acara apa? Acara ini nih, final Gemastik (Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang Teknologi Informasi Komunikasi) 2010. Kebetulan nama saya tertulis di daftar finalis. Dari ITB, ada 31 mahasiswa/i yang jadi finalis, tapi untuk keberangkatan ke Surabaya yang ikut rombongan ini hanya sekitar 16 orang.

Di CC Barat, sambil menunggu anggota rombongan yang belum datang, saya mengobrol dengan rekan2 baru (ya memang sebelumnya saya belum saling kenal dengan sesama finalis dari ITB.. paling baru Karol dan Gogo, teman sekelas waktu TPB). Entah karena mau lomba TIK, bahasa default yang digunakan dalam percakapan kami juga yang berbau TIK yakni bahasa Java. Banyak orang Jawa sih.. haha.. Setelah itu ada sambutan/pelepasan dari Pak Brian Yuliarto, kepala Lembaga Kemahasiswaan ITB. Btw, walau saya cukup sering mengajukan tanda tangan proposal untuk HME dan Gamais, yang otomatis harus ditandatangani Pak Brian, tapi baru saat itu lho saya tahu yang mana pak Brian.. hoho..

Setelah persiapan dinilai cukup dan seluruh anggota rombongan sudah hadir, kami bergegas ke parkir Sabuga karena bus yang akan dipakai diparkir di sana. Mulai berjalan meninggalkan kampus yang kegiatan kuliahnya akan sejenak kulupakan selama 3 hari mendatang. Surat izin tidak kuliah sudah dititipkan sang ketua angkatan elektroteknik 08 nan baik hati, Ijul. Absen sudah ga usah khawatir lah ya. Saatnya berjuang untuk 3 hari ke depan.

Singkat cerita, kami semua sudah di dalam bus carteran. Busnya cukup eksklusif dan nyaman, apalagi untuk keberangkatan ini kapasitas 40 orang hanya diisi sekitar 20 orang (16 finalis, Pak Caska dan 1 lagi pendamping dari kampus, plus kru bus). Two in one.. Oya, kenapa naek bus? Karena kalau Bandung-Surabaya naek kereta api entar dikira plagiat lirik lagu anak-anak dunkz.. haha, engga dink, ada alasan yang tidak perlu dikemukakan. Yang penting, dinikmati saja perjalanan penjang menggunakan bus ini. Saat bus mulai melaju meninggalkan Sabuga, waktu sudah menjelang jam 5 sore. Entah berapa jam perjalanan, kapan sampai Surabaya, sampainya masih pas jadwal check in atau nggak,.. Hmm.. pokoknya dinikmati..

Bus melaju cukup cepat melewati fly over Pasopati, lalu Pasteur dan masuk tol. Keluar tol di daerah Jatinangor. Lewat di depan kampus Unpad. Dan seperti kebanyakan sikap anak kampus mayoritas cowok kalo melihat kampus yang mayoritas cewe, muncullah candaan “Mampir cari pendamping dulu yo.. Buat suporter di sana..”.. Haha.. Kidding.. Kemudian menyusuri jalan raya Bandung-Cirebon nan berkelak-kelok. Saat mampir ishoma (istirahat sholat makan), kalau ga salah sudah sampai Majalengka. Makan malam prasmanan. Oya, selain melupakan sejenak perkuliahan, ini saatnya melupakan sejenak biaya makan anak kos. Selama perjalanan Bandung Surabaya, makan dibayar oleh kampus. Asyikk… Dan makanan pun terasa lebih maknyus karena memang rasa makanan yang paling enak adalah ra sa bayar (ga usah bayar).

Perjalanan lanjut lagi dan kebanyakan waktu diisi dengan tidur. Waktu berhenti sholat Subuh, sudah sampai di Pati (lumayan cepat kan..). Sarapan jam 6 pagi berhenti lagi, kali ini sudah sampai Tuban. Soto di sini benar-benar menggoyang lidah. Maknyuz. Saya menyesal tidak mengambil cukup banyak. Sembari makan istirahat dulu nonton Tom and Jerry yang kebetulan disetel di rumah makan itu. Perjalanan masih berapa jam lagi ya? Kalau agenda check in yang dijadwalkan untuk para finalis sih jam 7-12. Sekarang jam 6 pagi baru sampai Tuban. Sudah sampai Jawa Timur sih. Tapi bisa sampai di Surabaya di jam yang masih ada jeda istirahat cukup untuk memulihkan jetlag engga ya?

Bus rombongan kembali melaju. Melewati jalur utara Jawa Timur, dekat banget dengan laut. Lewat di depan Wisata Bahari Lamongan, yang konon Ancol-nya Jawa Timur. Tapi sekejap langsung terdengar tidak menarik karena mas Wahyu, ketua ARC ITB yang juga ikut rombongan ini, berkata taman wisata bahari itu jelek dan cukup sekali saja ia ke sana waktu libur lebaran kemarin. Waduh2, ini testimoni yang jelek atau emang objek wisatanya yang jelek? Hmm.. saya belum pernah ke sana. Belum bisa menilai.

Well, pada akhirnya sampai juga di Surabaya menjelang jam 10 siang. Udara Surabaya yang sangat panas itu menyambut. Untung ada AC di bus jadi rasa gerah sedikit berkurang. Menyusuri jalanan Surabaya, lewat di depan kampus KU UNAIR (dan keluar candaan lagi lah: “Neng, aa’ ITB lho..”), SMAN 5 SBY (yang katanya paling favorit di Surabaya itu), Museum Kapal Selam, Tugu Sura-Baya, dll sebelum akhirnya sampai di Asrama Haji Sukolilo, tempat kami menginap selama di Surabaya. Tempat itu dekat dengan ITS, kampus tempat diselenggarakannya acara final. Jam 10.30 kami sampai dan check in. Sudah check in, periksa kamar, taruh barang bawaan, dan istirahat sebentar sebelum mandi dan mulai berangkat acara technical meeting..

Yuph, sampai di sini dulu cerita Long Trip to Surabaya, karena emang sudah sampai di lokasi tujuan. Cerita selama di Surabaya akan segera menyusul.. 🙂

Mudik Bareng Widyakelana 2010

Alhamdulillah libur Lebaran telah tiba.. Momen mudik pun menjadi momen yang sangat dinanti dan dinikmati. Tak terkecuali pada libur Lebaran tahun ini, tak kalah menyenangkan. Saya mudik bersama rombongan Widyakelana (Paguyuban Alumni SMA Solo di ITB) naek bus langsung di hari terakhir kuliah (Jumat 3 September 2010), tentu saja bukan paginya, tapi malam sehabis tarawih.

Seperti biasa, dari tahun ke tahun, kalau mudik lebaran Widyakelana menyewa bus. Yang berbeda, untuk kali ini ada 2 bus yang disewa karena banyaknya angkatan 2010 (angkatan terbanyak sepanjang sejarah Wika) yang ikut. Busnya kalo ga salah City Trans menggunakan jasa Smart17Tour. Harga tiket 160ribu (sudah termasuk makan sahur). Agak mahal karena harga Lebaran, tapi sebanding lah. Busnya bagus, baru dan sangat nyaman.

Kami (widyakelana) berkumpul di gerbang depan kampus di jalan Ganesha selepas sholat tarawih. Saat saya sampai di sana diantar mas Bro EP’07, sudah banyak anggota rombongan yang datang. Saya pun segera menaekkan barang ke bus, memilih kursi yang masih tersedia. Dan saya dapat kursi ketiga dari depan, di bus 2. Alhamdulillah masih dapat kursi di barisan depan, walau idealnya kursi bus (menurut saya) kalau ga yang paling depan ya paling belakang. Well, saya kan tidak mabukan lagi sejak SMP, jadi kursi manapun okelah.

Setelah semua anggota telah berada di dalam bus, diabsen ulang dan siap berangkat, bus pun mulai bergerak. Itu sekitar jam 21.20 WIB. Yuhuy, perjalanan mudik pun dimulai.

Bus melaju lancar melewati Jalan Layang Pasopati, dan tanpa terhambat macet yang berarti sudah tiba di gerbang tol Pasteur. Masuk tol, kami mengelilingi batas kota Bandung untuk menuju ke Bandung Timur, dan setelah keluar tol mulai lanjut ke Nagreg. Selama awal perjalanan ini, suasana ramai terjadi karena cas-cis-cusnya Mbak Ratih Farmasi’07, di-counter dengan respon silih berganti anggota Wika yang laen. Seru lah. Mulai masalah jurusan sampai pacar, mulai bagian kapal yang lancip sampai kemampuan berbahasa Sunda (nah lho, ukur sendiri seberapa jauh melencengnya). Jalur Nagreg yang berliku pun dilalui dengan riang, walau semua sadar habis ini pasti pada mulai tertidur satu per satu. Alhamdulillah Nagreg lancar, tidak macet dan saya pun tertidur pulas. Hehe..

Bangun dari tidur pulas, bus sudah berhenti. Ternyata waktunya makan sahur. Wah, lama juga ya saya tertidur. Bahkan saya tidak menyadari busnya tadi sempat berhenti 1 jam untuk pak sopirnya istirahat. Ah, yang penting tidak tertidur waktu jatah makan sahur. Saya segera turun dari bus bersama anggota Wika yang laen. Hmm.. Jatilawang Resto, sama seperti waktu mudik tahun lalu berarti. Well, di sini cukup lengkap sih. Selain resto ada juga Pom bensin dan mushola dengan ukuran cukup besar.

Makan sahur di Jatilawang Resto cukup nikmat, ada daging rendang, sayur, krupuk dan minumnya Frestea dingin. Alhamdulillah kenyang dan siap untuk shaum maksimal. Selesai sahur, masih jam 04.05 WIB jadi masih harus menunggu sekitar 20 menit untuk sholat Subuh. Sambil menunggu sempat melihat highlight kualifikasi Euro 2012 di mana Inggris menggasak Belarusia 4-0. Oya, waktu menjelang subuh ini saya gunakan juga untuk menghabiskan minuman dan snack di kursi bus saya. Ntar ga sadar malah minum pas melanjutkan perjalanan. Bisa berabe kan..

Singkat cerita, sudah sholat subuh dan perjalanan pun berlanjut. Menyusuri jalanan lurus Jawa Tengah dengan sawah nan hijau di kiri kanan, sebentar saja sang surya sudah terbit dengan warna oranyenya yang memberi nuansa indahnya pagi. Praktis dalam perjalanan lanjutan ini saya 90% melek. Suasana ramai lagi karena radio yang disetel menyiarkan lagu Jawatimuran aneh berjudul “tikus” (kocak parah liriknya).

Purworejo, Jogja, Klaten.. satu per satu terlalui. Dan selepas Tegalgondo, mulai ada anggota yang turun dari bus. Yang pertama adalah Singgih TM’08, rekan yang dari awal duduk di samping saya pas. Di situ saja sudah turun, berarti yang dapat disimpulkan adalah, rumah Singgih sangat jauh dari kota. Berada hampir di batas pojok 3 kabupaten: Sukoharjo, Boyolali, dan Klaten.

Sebentar saja sudah sampai di Kartasura, salah satu kecamatan paling modern dan strategis di Indonesia (klaim dari saya sih karena kecamatan ini ada di KTP saya.. hehe). Sadis (nama orang, bukan lagunya Afgan!) turun. Di perempatan Kartasura, belok ke kiri ke arah Colomadu. Jalur berbeda dengan biasanya, tidak dilewatkan di depan Patung Batik Kleco (gerbang utama Solo dari barat), karena gantian mengakomodir teman-teman yang rumahnya di Colomadu. Saya sendiri yang biasanya turun di dekat Patung Batik Kleco, kali ini turun di depan PDAM Jajar. Tak apa, tidak begitu jauh. Toh saya dijemput adik saya yang memang mulai hari Sabtu 4 September 2010 sudah libur.

Setelah menunggu sebentar selama 5 menit (harusnya tidak menunggu, tapi adik saya ternyata lupa jalan tembus dari Kleco ke PDAM jajar.. ya sudahlah), adik saya datang menjemput. Nice. Saya pun bisa merasakan lagi udara kota Solo ini. Jam 11 tepat, saya sampai di rumah. Alhamdulillah…