Mobil

Weekend ini saya mendapati fakta perkembangan anak saya yang membuat saya kadang pengen ini anak jangan cepet-cepet gedenya. Fakta itu tak lain bahwa si bocah sudah paham prosedur menyalakan mobil. Masukkan kunci, nyalain mesin, brum.. brum.. pake sabuknya, spion dibuka, terus jalan mundur keluar garasi. Bahkan dia bisa memperagakan perintah “belok kanan” dan “belok kiri”! Ya Allah, he’s too cute to understand that…

Di usia yang masih di bawah tiga, anak saya sudah menyerap sedikit pengetahuan tentang mobil. Kalau kakinya udah nyampe, jangan-jangan nanti di usia SD udah bisa nyetir. Harus direm-rem dulu ya. Sebaliknya di satu sisi, saya cukup bersyukur karena saya aja dulu baru tahu jaman SMP, itu pun baru mau dan bisa nyetir setelah kuliah.

Mau dilihat dari sisi positif atau negatif, adanya mobil di saat anak usia belia membuat adanya sedikit privilege. Apa itu privilege? Tak lain manfaat spesial yang tidak banyak orang memiliki kesempatan yang sama.

Sebenarnya privilege ini sendiri bisa dilihat dari faktor lingkungan dan historis juga sih. Di lingkungan rumah kami, bisa jadi naik mobil dari bayi bukanlah privilege khusus, karena hampir semua sudah punya mobil. Di lain sisi, jika dibanding jaman saya kecil dulu, atau di lingkungan kampung halaman saya, merasakan di mobil dari bayi merupakan privilege (umumnya, pas bayi merasakan digendong di sepeda motor dulu).

Dilihat dari historis, ketika saya dulu belum menikmati mobil saat balita, jika dilihat di masa sekarang seolah-olah tidak berada pada zona privilege. Tapi di waktu itu, dengan sepeda motor pun bisa jadi merupakan privilege, karena orang tua saya zaman kecilnya lebih sederhana lagi, transportnya hanya ada sepeda tua. Dan saya sangat bersyukur orang tua saya pekerja keras yang memungkinkan saya sedikit banyak juga punya privilege.

Jadi, semakin kita banyak mengembara, merasakan banyak lingkungan dan masyarakat, kita akan merasakan banyak singgungan terkait privilege, baik merasa punya privilege, ngedumel karena merasa orang lain punya privilege sedangkan kita tidak, maupun sudah bisa ikhlas bahwa kita memiliki privilege yang sangat relatif, dan tergantung kita sendiri bagaimana memandangnya.

Sebenarnya, fair kah punya privilege?

Menurut saya sih, ga ada salahnya ya. Orang tua yang bekerja keras juga efek positifnya jadi tercipta privilege-privilege kecil untuk anak. Segetir-getirnya rasa sakit saat bekerja keras yang dialami (yang sebenarnya membentuk mental tangguh juga), orang tua punya soft spot tidak rela anaknya mengalami hal yang sama. Ini yang mesti dikontrol: punya privilege, tapi tetap punya mental tangguh juga untuk bekerja keras.

Ini yang saya cukup kepikiran, bisa ga ya saya menghadapi tantangan zaman ini untuk mengarahkan anak dalam koridor yang baik?

Bersama bahasan privilege, saya juga jadi bersyukur dan sangat berterima kasih pada orang tua saya, karena apapun privilege yang tercipta, orang saya selalu mencontohkan kerja keras. Karena privilege bisa jadi memang berpengaruh pada kesuksesan, tapi kerja keraslah yang berlaku universal untuk semua orang yang ingin sukses.

Privilege matters, but continuous efforts are better.

Bekasi, 25 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kelimabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Puasa Standar

Lahir dan besar di Indonesia, tentunya hampir seluruh Ramadhan saya dihabiskan di tanah air tercinta ini. Dalam kurun waktu hidup saya sampai umur 30 ini, praktis hanya dua kali puasa Ramadhan saya berada di luar zamrud khatulistiwa. Tepatnya saat S2 di Belanda tahun 2015-2016 yang lalu.

Dengan mayoritas waktu berada di Indonesia, tentunya saya sudah menganggap puasa dengan waktu Indonesia (baca: WIB) sebagai waktu puasa standar. Subuh ya sekitar jam 4, Maghrib menjelang jam 18. Sekitar 13,5 jam puasa defaultnya. Semua waktu sholat pun seperti sudah jadi waktu baku, dengan pergantian tahun ataupun domisili cuma berpengaruh sedikit saja.

Waktu puasa standar seperti di Indonesia, yang sangat stabil durasinya ini, hanya dialami di negara-negara yang berada di “tengah” lintang bumi, atau di zona khatulistiwa. Sedang di negara yang sedang mengalami musim panas, durasinya bisa sangat panjang, mencapai 20 jam (Norwegia, Islandia, dan negara-negara di pucuk utara – 2021 ini musim panas pas Ramadhan). Sebaliknya, di negara yang sedang musim dingin, durasinya sesingkat 11 jam (Selandia Baru, Afrika Selatan, dan negara-negara di pucuk selatan lainnya). Menarik ya dunia ini. Dan bolehkah pas Ramadhan ini kita traveling aja ke negara selatan yang puasanya sedang singkat? Ya boleh-boleh saja sih, asal punya uang (baca: muahal) dan bebas corona. Hehe..

Kalau memilih ke puasa yang lebih singkat terdengar menarik, bagaimana kalau puasa di musim panas (dengan durasi yang jauh lebih lama). Asik ga ya?

Pengalaman saya 2 tahun di negeri utara yang sedang musim panas saat Ramadhan, ternyata asik juga! Hmm.. bukan asik sih frase yang tepat. Tapi “unik dan menarik“, mengembalikan memori pas Ramadhan dulu membuat saya senyum-senyum sendiri.

Puasa 19 jam. Tak kurang dari 5,5 jam lebih lama dibanding kebiasaan. Di musim panas pula.

Oya, untuk perbandingan singkatnya, berikut waktu sholat di Bekasi hari ini (April 2021),

FajrSunriseDhuhrAsrMaghribIsha
04.3805.5411.5615.1417.5519.04

kita bandingkan dengan saat di Leiden Belanda (Juli 2015) lalu:

FajrSunriseDhuhrAsrMaghribIsha
03.1005.2413.4618.1022.0700.09

Kalau disuguhin tabel waktu sholat pas puasa, tentu yang jadi acuan pertama waktu Maghrib nya dong. Hehehe. Di Leiden kala itu, Maghribnya jam 22.07. Normalnya di Indonesia, tarawih berapa rekaat pun sudah selesai, kita sudah mapan di kasur. Jika di balik perspektifnya, jam 17.55 waktu buka di Indonesia, ternyata secara Belanda, Asar pun belum di jam segitu. Orang-orang sudah balik kerja ataupun dari kampus, semuanya sebelum Asar! Lucunya, spare 4 jam antara Asar dan Maghrib membuat kita mau “tidur sore” pun (yang saya jamin maksimal cuma bisa 2 jam), bangun-bangun masih jauh dari Maghrib.

Lanjut, acuan berikutnya untuk puasa, waktu Fajr. Jarak Isya dan Subuh di Indonesia sangatlah panjang dan ideal untuk tidur malam. Katakanlah 20.30 kelar tarawih, masih ada waktu 7 jam lebih untuk istirahat sebelum bangun sahur. Di Leiden? Boro-boro, ga ikut tarawih saja, pulang dari masjid pun sudah jam 00.30, tinggal 2,5 jam sebelum Imsak tiba. Kebanyakan mahasiswa muslim jadi stay ga tidur dulu sampai subuh karena waktu yang mepet ini. Fatal bro kalau ga sahur untuk puasa 19 jam. Hehe…

Dilihat dari jamnya, sepertinya timpaang gitu ya… dan terasa lebih mengenaskan. Ada beberapa yang menyarankan mengikuti jadwal imsakiyah Saudi saja, walau kok ya aneh kalau buka puasa pas suasananya belum Maghrib.

Tapi subhanallah. Ternyata Allah memang tidak pernah membebankan di luar kemampuan kita. Puasa 19 jam ketika dilalui, rasanya kayak 1 jam lebih lama saja dari “puasa standar” Indonesia.

Dan dari puasa yang lebih lama itu, saat buka puasa… rasanyaa…. slurrppp

Nikmat. Subhanallah.

Baik puasa dalam waktu standar maupun tidak standar, sebenarnya ujian dan kadar kebarokahannya tetap tergantung niat dan amalan kita. Semoga kita senantiasa jadi orang yang lebih baik. Amiin.

Bekasi, 15 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan keempatbelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan.

Ramadhan tiba. Ramadhan tiba. Tiba-tiba Ramadhan. Tiba-tiba Ramadhan.

Alhamdulillah.. karena Ramadhan ternyata sudah tiba lagi ya, bulan yang penuh berkah dan kemuliaan.

Astaghfirullah.. karena Ramadhan ternyata sudah tiba lagi di saat kondisi pandemi masih sama, belum ada tanda nyata kalau efeknya sudah mereda.

Ya, mungkin begitu pula kita mesti mentadaburi hidup. Dalam setiap hal positif dan negatif. Dalam tiap kabar gembira maupun peringatan. Membersamai suka yang selalu terselip duka, pun duka yang selalu membawa pada hal yang disuka.

Momen pandemi membuat Ramadhan kali ini tetap mesti ditunda dulu untuk ketemu orang tua, padahal baru kangen-kangennya. Untuk sholat jamaah di masjid, kali ini sudah mulai dibuka walaupun jarak masih harus renggang-renggang demi protokol kesehatan.

Apapun mesti kita syukuri ya.

Dan bersama datangnya bulan Ramadhan pula, saya ingin menghaturkan maaf kepada rekan-rekan semua apabila banyak khilaf selama ini.

Bismillah semoga keberkahan dan ketaqwaan membersamai kita semua. Amiin.

Bekasi, 12 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan ketigabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Peta Digital

Dua minggu ini saya mesti menempuh perjalanan dinas ke dua kota yang berbeda. Seperti biasa ketika merencanakan perjalanan, saya selalu mengandalkan Google Maps, aplikasi peta digital paling populer yang tentunya kita semua sering pakai. Memang Google Maps ini sangat revolusioner ya, memberi kita informasi trafik secara real time sehingga bisa merencanakan perjalanan dan memperkirakan waktu tempuh dengan jauh lebih baik.

Menariknya, dari dua perjalanan itu saya kembali disadarkan bahwa teknologi ya tetap teknologi, sesuatu yang dibuat untuk memudahkan manusia. Selebihnya tetaplah intuisi kita yang utama.

Pertama, perjalanan dari Solo ke Semarang, melewati salah satu tol yang konon paling indah di Indonesia (karena kelokan di lembah dan view gunung Merapi dan Merbabunya, maybe). Isunya di sini adalah telah berlakunya tilang elektronik di Indonesia, termasuk tilang untuk kecepatan yang melebihi batas. Entah implementasinya bener sudah jalan atau belum, yang jelas fitur “speed camera alert” di Google Maps jadi sangat berguna. Dengan fitur tsb, ada notif agar kita awas saat melewati titik yang ada kamera CCTV kecepatan.

Masalahnya, fitur speed alert itu sangat bergantung input pengguna. Kalau total ada 5 CCTV kecepatan, sedangkan baru 2 titik yang diketahui pengguna, bisa jadi kita tetap kena di 3 titik. Problem lainnya, kita jadi mengontrol kecepatan di titik CCTV saja, selebihnya los dol.. ya iya kan, kita disiplin pas dilihatin aja? Ahaha.. Lucunya, dengan bantuan teknologi dan kedisiplinan pun, kita belum tentu bisa mengontrol kecepatan di bawah batas untuk case tol Solo-Semarang. Jalan tol, dengan jalur yang naik turun yang lumayan tajam plus minim kendaraan (ga kayak Jakarta atau Cipularang), selamat mencoba untuk mengontrol kecepatan di bawah batas.. 😀

Kedua, perjalanan dari Bekasi ke Bandung. Kali ini terkait info Google Maps kalau ada delay perjalanan karena pembangunan jalan. Estimasinya, delay 25 menit. Bagi saya yang berdomisili di Bekasi, saya punya 2 opsi: pertama lewat jalur bawah (jalur default) dengan ikhlas menerima terhambat 25 menit itu. Opsi kedua, melaju ke arah Jakarta dulu, putar balik di Jatiwaringin, lalu masuk tol lagi dan lewat tol layang. Jika dibandingkan dengan asumsi delaynya benar hanya 25 menit, maka opsi pertama lebih cepat.

Nah masalahnya, Google Maps mendapat input berdasar smartphone (jumlah trafik pengguna di tempat yang sama dan rata-rata kecepatan), tanpa mempertimbangkan ukuran kendaraan. Saat peta digital ini mengestimasi, banyaknya truk kontainer dan bus malam seolah terabaikan. Delay 25 menit kenyataannya bisa 45 menit atau lebih. Tentunya susah untuk selap selip di antara truk kontainer & bus malam Indonesia yang nyetirnya ngasal. Jadi, memang intuisi dan common knowledge tetap yang utama sekalipun sudah terbantu dengan teknologi. Itu yang tidak saya gunakan di perjalanan kedua ini dan dengan lancarnya terjebak dalam trafik lautan truk. Capek deeh 😀

Lain kali, kalau Google Maps bilang ada delay 25 menit atau lebih di jalanan Jakarta, Bandung dan sekitarnya, consider pilih rute lain. Sepertinya aplikasi global ini kurang tepat mengidentifikasi realita jalanan Indonesia yang sadis.

Dan apapun yang teknologi berikan, mengasah intuisi dan pengetahuan umum tetap nomor satu. Demikian.

Bandung, 7 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan keduabelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Sepeda

Satu lagi momen nostalgik yang saya alami minggu ini: naik sepeda. Selain kereta yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya juga termasuk sering naik sepeda.

Saat SD sampai lulus SMP, saya berangkat sekolah naik sepeda. Bersepeda ke sekolah pun berlanjut full saat S2, karena di Belanda tanpa bersepeda apa gunanya.. hehe..

Nah, kemarin secara kebetulan saya diajak untuk mengingatkan lagi asyiknya bersepeda. Saat di Semarang, rekan saya mengajak bersepeda pagi-pagi (ditraktir sewa sepedanya pula, matur nuwun sanget!), berkeliling kota Semarang bawah yang ga kalah flat-nya sama Belanda. Tak kurang dari 15 km jarak ditempuh dalam 1 jam-an perjalanan, melewati area well known seperti Simpang Lima, Lawang Sewu, Kota Lama, RS Kariadi, Sam Poo Kong. Sebenarnya mau ke arah pantai juga tapi diurungkan niat karena awan mendung makin menghitam. Ya di satu sisi jadi kurang lama sepedaanya, di satu sisi juga menyenangkan bersepeda di bawah suasana mendung karena Semarang jadi sejuk, tidak panas seperti biasanya (pas normal, panasnya Semarang bisa ngalahin Jakarta!)

Ini beberapa foto saat sepedaan pagi di Semarang kemarin:

Oh ya, kebetulannya lagi, sahabat saya yang sekarang masi di Belanda, di hari yang sama tanya-tanya pengalaman dulu bersepeda dari Leiden ke Keukenhof. Keukenhof ini adalah salah satu taman bunga paling indah di planet bumi, yang mekar di bulan semi (sekitar bulan ini di Belanda). Waha, so nostalgic! Emang lumayan banyak yang suka sepedaan ke arah Keukenhof saking indahnya. Saya sendiri sempet kalau ga salah 4x menempuh jarak 30 km PP dari Leiden ke Keukenhof. Nah, sahabat saya ini mau nyobain rute yang sama, atau paling engga pengen tahu ancer-ancernya.

Setelah beliaunya jadi sepedaan, saya dikirimi foto pemandangan yang sangat memorable bagi saya, yang ngingetinnya aja sampai mau menitikkan air mata (haha.. berasa lebay ya). Berikut fotonya:

Momen-momen bersepeda minggu ini sungguh mengingatkan lagi bahwa hidup pernah seindah ini.

Dan bismillah semoga ke depan tak kalah indahnya.

Bekasi, 4 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kesebelas untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Kereta

Minggu ini saya naik kereta lagi, setelah sekian lama. Pandemi oh pandemi ya. Padahal kereta ini adalah moda transportasi yang paling sering saya naiki, terutama untuk perkara mudik.

Saat kuliah dulu, saya hampir selalu mudik dengan kereta. Saat sudah bekerja pun, naik kereta tetap jadi pilihan. Pun kala harus PP jelang lahiran anak selama sekitar 4 bulan, selalu juga naik kereta. Pokoknya anker (anak kereta) banget lah saya.. hehe..

Kenapa ya kereta jadi transportasi favorit buat saya bahkan saat harga pesawat sekarang sudah cukup terjangkau?

Mungkin karena jam berangkatnya bisa malem banget jadi bisa santai dulu sorenya, dan tinggal tidur saat di dalam kereta. Bisa jadi juga karena waktu tempuh ke stasiun relatif lebih pendek dibanding ke bandara, plus check in nya ga ribet. Kadang pula obrolan random di dalam kereta, baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas, cukup seru dan insightful (saya hampir tidak pernah ngobrol dengan orang random di pesawat karena durasinya terlalu singkat).

Tapi semenjak pandemi, tentu banyak hal termasuk mudik jadi mesti ditunda dulu. Perjalanan berkereta pun harus dikesampingkan untuk beberapa waktu. Dan setelah hampir setahun tidak berkereta, cukup banyak yang sudah berubah ya, terutama menyesuaikan kondisi pandemi. Sebelum berangkat mesti tes antigen/genose, saat berangkat diberi face shield, bangku sebelah jadi kosong, dan availability jadwal kereta juga dibatasi.

Menariknya, dari mudik kemarin saya jadi sadar ada satu hal yang konstan.

Satu hal yang selalu membuncahkan perasaan dan salah satu hal paling indah dalam mudik.

Apa itu?

Tak lain saat ku berjalan di pintu keluar, disambut senyum ibu & bapak yang datang menjemput.

How beautiful. Subhanallah.

Bekasi, 3 April 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kesepuluh untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Fun Part

Seminggu yang lalu, Indonesia heboh dengan pertandingan catur yang digelar antara pecatur wanita terbaik tanah air, WGM Irene Sukandar melawan pak Dadang Subur (DewaKipas) yang viral karena alasan yang cukup kontroversial dan kurang etis. Walaupun stream di hari senin, jam sibuk-sibuknya kantor, tetap jutaan yang nonton live di Youtube Deddy Corbuzier.. saking viralnya.

Nah, yang ingin saya garisbawahi justru momen podcast om Deddy Corbuzier setelah itu. Ada satu kalimat nyletuk yang menarik perhatian saat Deddy penasaran bagaimana atlet catur membalance “game” dan “ilmu”. Dalam artian begini, pecatur pas masa kecil mulai main catur pasti rasanya menyenangkan, seperti “game”, menang kalah pun pasti bisa diambil asiknya. Lama-lama, untuk jadi atlet maka di-drill banyak sekali varian langkah-langkah dan memori pertandingan, sehingga ini udah di ranah “ilmu” yang seringkali stressful.

Hmmm.. iya juga ya…

Rasa seru seringnya cuma kita rasakan di awal. Selepasnya, dengan ratusan jam mendalami hal yang spesifik, tentu bukan seru lagi yang dirasakan, bahkan cenderung menjemukan.

Tapi ternyata, orang yang sukses seringkali punya mindset yang bagus dalam membalance antara rasa seru & rasa stress.

Magnus Carlsen, juara dunia catur dan mungkin pecatur terbaik sepanjang sejarah, masih terlihat happy bermain-main dengan varian gerakan yang selow sekalipun dia sangat bisa memilih gerakan paling akurat.

Roger Federer, juara tenis dan mungkin petenis terbaik sepanjang sejarah, bilang bahwa ia masih menikmati memukul-mukul bola tenis lawan dinding garasinya.

Kelihatan silly, tapi mungkin itulah kunci suksesnya ya.

Se-stress apapun latihan atau belajar mencari ilmu, kita mesti tetap menemukan fun part, hal menyenangkan yang membuat kita terus bertahan.

Karena dalam senyum dan antusiasme, terdapat rasa syukur dan keinginan untuk maju.

Bekasi, 28 Maret 2021

Note: Ditulis sebagai tulisan kesembilan untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Pasir

Saat ini, dunia sedang trending satu kejadian heboh yang cukup mengguncang rantai perekonomian. Bukan covid ya, karena kalau yang ini sudah setahun lebih dan kita belum tau kapan hilangnya. Kejadian yang saya maksud adalah tersangkutnya kapal kargo Ever Given, salah satu kapal terbesar di dunia (1,5x besar kapal Titanic yang tersohor itu), di Terusan Suez.

Mengingat Terusan Suez merupakan kanal yang sangat penting untuk jalur kargo, dengan 10% lebih pengangkutan kargo melalui jalur tsb, maka diprediksi menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 126 Triliun rupiah sehari! Wow, jumlah kerugian harian yang sangat besar ya. Tempat kerja saya aja butuh hampir setahun untuk mencapai angka segitu.

Nah, yang menarik dari cerita kapal Ever Given ini adalah, bagaimana bisa kapal sebesar itu nyangkut. Apalagi di era modern seperti ini, dan di kanal yang sudah beroperasi seratus tahun lebih. Ternyata faktornya adalah badai pasir dan angin berkecepatan 50-70 km/jam yang datang tiba-tiba. Kecepatan tersebut sebenarnya bukan kategori “wow” karena banyak badai berkecapatan ratusan km/jam di penjuru dunia, tapi ternyata dengan kedatangannya yang tiba-tiba membuat navigasi kapal jadi buruk, walhasil kapal kargo seberat 220.000 ton (ya, seberat itu!) “sukses” melintang diagonal, menutup penuh lebar Terusan Suez.

See? Pasir dan angin yang datang tiba-tiba membuat kapal superbesar dan superberat bergeser dan membuat rantai perekonomian terguncang seketika.

Kapal kargo lain jadi harus menunggu penuh ketidakpastian kapan kanal Suez bisa kembali dilewati. Opsi memutar pun sangat jauh, karena berarti harus mengelilingi penuh benua Afrika. Barang kargo banyak yang terdelay. Bahkan harga minyak dunia pun sampai naik karena pasokannya jadi susah.

Sepertinya begitulah ihwal manusia ya. Terlalu kecil dibanding alam dan kehendak Sang Pencipta. Peristiwa ini juga mengingatkan saya kenapa kita selalu bersyukur alhamdulillah selesai bersin.

Karena saat kena debu kecil atau sebab lainnya, kita bersin, pada dasarnya jantung juga berhenti sekejap. Untungnya cukup cepat sebelum ke fase fatal dan jantung kita operasional lagi. Alhamdulillah. Tentunya nikmat sehari-hari yang terkesan sepele ini jadi mesti disyukuri berkali-kali.

Bisa jadi, pasir dan angin kecil yang membuat kita bersin, ternyata menghentikan laju jantung kita. Seperti kapal Ever Given tersangkut di Terusan Suez. Naudzubillahi min dzalik.

Semoga kita terus diberi kesehatan dan menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur. Amiin.

Bekasi, 27 Maret 2021

Ditulis sebagai tulisan kedelapan untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Purpose

Beberapa waktu yang lalu, saya menyimak insta-story dari direktur muda nan cemerlang di tempat saya bekerja, dan menemukan hal yang sungguh menarik. Beliau saat itu sedang mengutip buku “The Power of Moments” karya Chip & Dan Heath.

Hal menariknya begini: mana yang lebih penting, purpose atau passion?

Saat saya sekolah dulu, yang banyak dijor-jorkan lebih ke passion. “Carilah passionmu!” lebih digaungkan dibanding “Temukan purpose-mu”. Karena memang mencari passion berarti mencari kesenangan kita, hal yang membuat kita secara emosional happy-happy. Apapun yang dijalani akan bisa dilalui jika hati baru bahagia. Premis ini bisa jadi betul, tapi untuk konteks di pekerjaan, ternyata buku “The Power of Moments” memaparkan hal lain. Apakah itu?

Tertarik dengan mana yang lebih membuat impact dalam performa kerja, purpose atau passion, seorang profesor melakukan riset. Hasil yang obvious (mudah diprediksi) yakni:

  • Orang yang punya high passion & high purpose, performa kerjanya sangat tinggi. Wajar, lha wong suka dengan kerjaannya dan punya tujuan spesifik pula
  • Orang yang punya low passion & low purpose, performa kerjanya rendah. Ini juga jelas, lha wong ga suka dengan kerjaan dan ga punya tujuan, ngarep apa? Hehe

Nah, yang menarik ini nih. Kalau hanya punya 1 (high passion aja, atau high purpose aja), mana yang unggul performa kerjanya?

Ternyata… menang purpose! Orang yang ga suka-suka amat dengan kerjaannya, tetapi punya tujuan spesifik punya performa kerja yang lumayan oke, bahkan hampir mendekati orang yang high passion & high purpose. Sebaliknya, orang yang suka dengan kerjaannya tapi ga punya tujuan, ya performanya segitu-gitu aja, bahkan cenderung mirip orang yang low passion & low purpose. Wew!

Mungkin orang yang suka terhadap hal tertentu, gampang putus asa saat moodnya baru jelek ya. Terlalu comfort dengan kondisi yang disuka. Pengennya lingkungan bisa menyesuaikan kesukaannya, baru dia jalan.

Di lain sisi, orang yang punya tujuan akan tetap mengupayakan, baik saat mood baik maupun buruk. Orang-orang ini akan bertahan walau badai menghadang, saat keadaan kurang menguntungkan.

Nah, alhamdulillahnya dari kecil saya melihat sosok yang bisa jadi role model untuk punya purpose. Sosok tersebut tak lain adalah.. Ibu saya.

Ibu saya selalu berjuang sekalipun berada di kondisi yang bukan disukainya, tetap bisa perform di saat lingkungan tidak sesuai kata hati beliau. Berat, tapi tetap maju karena punya purpose. Yang luar biasa, purposenya luar biasa untuk kemajuan lingkungannya. Ini yang masih coba saya pelajari, karena sejauh ini passion & purpose saya masih sangat individualis, passion nonton bola, purpose bisa nonton bola langsung di Eropa (yang alhamdulillah ini pun sudah membawa saya melangkah jauh..hehe..)

Perlahan purpose kita memang mesti dikoreksi bukan hanya untuk diri sendiri ya. Karena beda dengan passion yang sangat personal, purpose semestinya bisa dishare untuk tujuan bersama, tolong menolong dalam kebaikan.

Terima kasih Bunda!

Bekasi, 26 Maret 2021

Ditulis sebagai tulisan ketujuh untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.

Vaksin

Hari ini saya berkesempatan mengikuti vaksin covid-19 yang pertama. Prosesnya lumayan cepat dan tanpa efek samping yang berarti. Yang saya rasakan sih ada mengantuknya ya, walaupun ragu juga ini efek samping vaksin atau memang sayanya yang pengen tidur siang. Hehehe… Selain itu, ada rasa gerah. Tapi untuk yang ini sepertinya bukan demam efek vaksin, tapi udara Jakarta-Bekasi memang sedang panas-panasnya. Fyuuuh…

Tentu kita semua berdoa proses vaksinasi nasional akan berjalan lancar dan wabah covid-19 bisa segera hilang. Biidznillah. Amiin…

Berbicara tentang vaksin, konsepnya kita tahu bahwa ini adalah zat “penyakit” yang dilemahkan. Zat tersebut secara medis sudah teruji terkendali sehingga tubuh kita siap untuk melawan dan diharapkan nantinya bisa kebal. Mengenai efek sampingnya, ada beragam, tapi sejauh ini tidak fatal. Pun kita tidak semestinya panik jika mengalami gejala demam, mual, dsb. Insya Allah masih di koridor aman.

Dari proses vaksin yang saya jalani hari ini, saya juga merenung bahwa di keseharian, Allah SWT sebenarnya juga sering menguji kita seperti konsep vaksin. Bagaimana tidak, setiap ujian yang diberikan-Nya dijamin tidak di luar batas kemampuan kita. Sama seperti vaksin yang sudah diset tubuh kita mampu.

Nah, kitanya justru yang sering panik sendiri saat ada “gejala” kecil dari ujian Allah. Contoh gejala kecilnya yakni harta berkurang, sakit, pekerjaan stagnan, masalah dengan rekan, dsb. Padahal gejala tersebut sudah pasti dalam koridor kemampuan kita. Cukup dihadapi dengan ikhlas dan lapang dada.

Dan sama seperti vaksin pula, ujian hidup kita bertujuan untuk membuat kita lebih kuat, lebih kebal dan lebih siap saat ada masalah di depan. Biidznillah.

Bismillah kita bisa positive thinking untuk tiap ujian hidup atau “vaksin” yang diberikan Allah 🙂

Bekasi, 25 Maret 2021

Ditulis sebagai tulisan keenam untuk belajar ikhlas dan berpikir positif. Untuk Ibunda tercinta.